Salat

Simbah Ibnu Arabi

Puasa #17

Tepat hari ketujuhbelas bulan Ramadhan, benak saya serasa dipenuhi oleh sosok kontroversial Ibnu Arabi. Dari berbagai sumber bacaan yang ada di rak perpustakaan saya, ia lahir persis pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan 28 Juli 1165 M.

Sosok ini memang mengundang daya tarik. Dalam Mendaki Tangga Langit, misalnya, Ibnu Arabi menuliskan lawatan Mi’raj-nya. Sebuah perjalanan hati tatkala semua yang fana tak berarti. “Di waktu malam setiap gerak menjadi terdiam, setiap langkah terhenti, dunia kita yang fana tertidur, sedangkan kedalaman jiwa kita tetaplah terjaga. Jiwa terbang meninggalkan badan dan kerangkeng waktu, berjalan menempuh dunia yang hanya bisa disaksikannya sendiri.”

Nah, dari sekian paparannya yang cukup lama mengendap dalam benak saya adalah mengenai salat.  Ibnu Arabi benar-benar memiliki cara atau metode tersendiri dalam mengungkap rahasia-rahasia shalat. Contoh terkait waktu salat, ia menuturkan bahwa Tuhan telah membagi alam dan waktu salat dalam tiga tingkatan. 

Pertama, alam nyata, yakni alam indra dan penampakan, yang menjadi posisi salat pada waktu siang, salat zuhur dan ashar. Dalam pagelaran alam nyata atau indra ini oleh Allah ditunjukanlah nama-nama-Nya yang dapat dilihat. Allah itu Mahanyata (Azh-Zhahir). Saat kebanyakan manusia beroperasi mengukur ruang, meneguhkan eksistensi struktural. 

Kedua, alam gaib, yaitu alam akal, yakni dalam posisi salat isya dan salat malam. Para ahli malam, saat bermunajat kepada Tuhan dalam salat tersebut adalah penunjukan makrifat tentang rahasia-rahasia dan seluk beluk pengetahuan. Waktu malam menjadi domain akal dan pikiran atas segala sesuatu yang belum berwujud, atau masih gaib. 

Malam adalah waktu mi’raj nabi dan ruh-ruh para kekasih untuk melihat tanda-tanda ideal Ilahi dan kedekatan rohani. Itulah waktu yang mulia, ketika Al-Haq turun mendekat hamba-hamba-Nya yang beristighfar, bertobat, memohon dan berdoa.

Ketiga, alam imajinasi dan barzakh, yaitu turunnya makna-makna dalam bentuk yang terindra. Alam ini bukan alam gaib karena terselubungi oleh bentuk-bentuk yang terindra. Tetapi juga bukan alam nyata karena berupa makna-makna yang murni, yang luput dari materi. 

Salat magrib dan subuh adalah waktu yang mengiring alam imajinasi. Keduanya merupakan waktu yang bukan malam dan bukan pula siang. Kedua waktu itu merupakan pemisah di antara siang dan malam. Dan orang yang bermunajat pada waktu ini, niscaya terbuka alam barzakh berupa petunjuk-petunjuk menuju Allah. 

Salat magrib, keluarnya hamba dari alam nyata ke alam gaib, yaitu dalam kedudukan indra yang memberikan bentuk kepada imajinasi. Imajinasi mengambilnya dengan kekuatan pikiran. Imajinasi yang mengantarakan kekasaran indra menuju kelembutan. Ibnu Arabi menuturkan, dengan perantaraan ini, itulah kenapa salat magrib itu ganjil. Dan keganjilan itulah yang melembutkan bentuk agar bisa diterima oleh alam gaib dan akal. Sebab akal tidak tidak menerima bentuk yang kasar dan kegaiban tidak menerima hal yang nyata. 

Pun saat salat subuh yang menjadi imajinasi keluarnya alam gaib menuju alam nyata dan indra. Imajinasi mengambil makna-makna murni dan rasional yang lembut dan hidup di malam, kemudian mengasarkannya dalam alam indra. Contoh, bentuk rumah di dalam akal merupakan bentuk lembut yang rasional. Apabila imajinasi memandangnya, maka dengan kekuatannya, ia memberi bentuk, memisahkannya, dan mengasarkannya dari kelembutannya di dalam akal. Lantas, dalam membangunnya, indra mengumpulkan batu bata, pasir, dan segala sesuatu yang diimajinasikan untuk mewujud.

Hal lain yang juga menarik, Ibn Arabi mengatakan salat yang disyariatkan baik yang fardhu maupun yang sunnah muakkad terdiri delapan. Yakni salat fardhu lima waktu, salat witir, salat Jum’at, salat dua hari raya, salat gerhana, salat minta hujan, salat istikharah dan salat jenazah.

Istilah delapan itu pula yang melingkupi diri manusia: esensi (zat), kehidupan, pengetahuan, kehendak, pembicaraan, kekuasaan/kemampuan, pendengaran, dan penglihatan. Dan, organ-organ yang ditanggungkan ke manusia juga delapan, yakni telinga, mata, lidah, tangan, perut, alat kelamin, kaki dan hati. 

Kemudian rahasia atau makna-makna simbolik, ini yang saya maksudkan sebagai yang unik dari Ibnu Arabi. Misal salam, bagi Ibnu Arabi tidak sekadar sebagai penutup salat. Tetapi menjadi pembuka dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Salam merupakan permohonan izin kepada Allah, sekaligus tata cara pembuka dialog dengan manusia dan lingkungan. 

Tatkala salat, ucapan salam meniscayakan segala sesuatu selain Allah adalah gaib. Dan kemudian akan mewujud nyata seusai salat. Artinya, salam adalah penanda bahwa Allah Mahagaib sekaligus Mahanyata. Allah adalah Maha Tersembunyi sekaligus Mahatampak. 

Namun, dari kesemuanya, dengan merunut karya Ibnu Arabi, akhirnya saya paham bahwa ia tidak sedang mempertentangkan syariat dengan tasawuf. Fikih dengan hakikat. Justru fikih penting karena menjadi tangga menuju hakikat, menuju makrifat. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 19/04/2022

Baca juga: Ibnu Arabi

Post a Comment

0 Comments