Agama Cinta

Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu 'an u'rafa, fa khalaqtu al-khalqa li-kay u'raf' (Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu, lalu Aku ciptakan makhluk agar Aku bisa diketahui)."

Sebelum ada apa-apa dan sebelum menciptakan apa-apa, Allah sendirian. Tidak ada yang menyembah, tak ada yang mengenang, tiada yang mengabdi. Kemudian Ia berkehendak dikenang, dikenal, disembah, dan dimakrifati, maka lahirlah makhluk.

Dari ungkapan “fa ahbabtu”, kita jadi mengerti kenapa Allah menciptakan alam semesta, termasuk manusia, tidak lain karena Allah merasa senang, merasa cinta untuk dikenal. Oleh karena Allah dalam mencipta makhluk, lantaran cinta, maka yang pertama dicipta adalah makhluk yang paling bisa mengenal Allah, yang paling dekat Allah, dan yang paling Ia cinta.

Dan kita tahu, makhluk yang paling dicintai-Nya adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tak pelak, kita semestinya selalu melantunkan cinta kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabat.

Ada sebuah ijazah dari seorang kiai ternama, sekiranya pada saat akad nikah bisa merasakan Nabi Muhammad Saw. hadir, maka atas kehendak-Nya, anak-anak yang kemudian lahir pun akan menjadi orang-orang yang cendekiawan, alim, yang 'amil bi al-ilmi

Sehingga, dalam tradisi kiai-kiai pesisir, sebelum diadakan acara akad nikah, lazim dibacakan asyroqol, tidak lain dan tak bukan karena dalam rangka menghadirkan Kanjeng Rasul Muhammad Saw. 

Namun, mungkinkah Rasulullah Saw. itu bisa hadir di mana-mana, yang tidak tersekat oleh ruang dan waktu?

Nah, di dunia ilmu (teologi) pesantren, ilmu alam itu bukan ilmu pasti, melainkan ilmu adat, kebiasaan. 

Seperti kebiasaan es terapung di atas air, itu adat. Berikut, dalam teologi ahlussunnah wal jama'ah, Allah tidak berdimensi waktu, tidak berdimensi ruang, sehingga orang yang sedemikian dekat dengan Allah, seperti Nabi Muhammad Saw., turut pula tidak berdimensi waktu dan tempat.

Suatu saat, Nabi Muhammad Saw. bertanya kepada Malaikat Jibril, “Berapa umurmu, Bril?”

“Pokoknya, Kanjeng Nabi,” jawab Malaikat Jibril, “saya pernah melihat bintang 70.000 kali. Dan saya pernah melihat 70.000 kali bintang yang terbitnya 70.000 tahun sekali. Saya pernah melihat 70.000 kali.”

Misalnya, 70.000 X 70.000, kira-kira ketemu sekitar lima miliar tahun. Padahal, Kanjeng Nabi Saw. sebelum itu sudah ada, sebagaimana sabda beliau, “Bril, yang kamu lihat itu bukan bintang, melainkan nur saya, yang diciptakan oleh Allah.”

Jadi jelas, Nabi Muhammad Saw. lebih tua daripada Malaikat Jibril. Nabi Muhammad Saw. merupakan ciptaan pertama Allah, karena Allah berkehendak mencipta makhluk yang paling dicintai, makhluk yang paling sempurna, yakni Kanjeng Rasul Muhammad Saw.

Oleh karena itu, sebuah riwayat hadis menuturkan, “Arrahimuna yarhamukumullah irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama, cintailah orang-orang yang ada di bumi ini, niscaya malaikat-malaikat yang ada di langit akan mencintaimu.”

Nyatalah alam raya lahir karena sifat rahman Allah, karena sifat rahim Allah, dan karena sifat cinta Allah kepada semesta ini. Maka, akhirnya kita juga mengenal sebuah ordo tasawuf yang mengetengahkan agama cinta. Konsep yang dicetuskan Syeikhul Arifin Ibnu Arabi, yang dalam syairnya mengucap:

Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Sebuah biara bagi para rahib yang telah menafikan dunia. 
Juga rumah untuk berhala-berhala.
Lembaran-lembaran Taurat dan Al-Quran.
Aku beragama dengan agama cinta.

Maksud agama cinta di situ merujuk pada perintah, “Katakan Muhammad, 'Kalau kamu sungguh cinta kepada Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu dan memaafkan dosa-dosamu (perselingkuhanmu)'." (Ali Imran: 31).

Juga maksud dari rumah, padang rumput, dan biara sebagai wujud hati Ibnu Arabi, itu dinisbatkan dalam ungkapan bahwa alam semesta tidak sanggup menampung Allah. Hanya hati kaum berimanlah yang bisa menjadi rumah Allah. Singkatnya, syekh akbar itu hendak menyatakan bahwa hatinya telah memuat Allah.

Kemudian berkait musik dan sastra, sebagaimana kita tahu di dunia Islam banyak sekali mazhab, banyak jalan pikir. 

Imam Al-Ghazali menyatakan, “Orang yang hatinya tidak bisa bergerak tatkala melihat bunga-bunga musim keempat, dan hati yang tidak bisa digerakkan dengan kayu beserta dawai-dawainya, maka komposisi hatinya itu sudah rusak.”

Begitulah, untaian hikmah yang saya sadap dari uraian K.H. Ubaidillah Shodaqoh, dalam sebuah suluk di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon, Semarang. 

Ungaran, 03 Juni 2023

Baca juga: Memuja Bayangan


Post a Comment

0 Comments