Dalam Kebimbangan

 Fiqih Sirah

Ketika menerima wahyu di gua Hira, tepatnya 6 Agustus 610, Muhammad telah meraih usia kesempurnaan, 40 tahun. 

Ya, angka 40 dipercaya sebagai angka keberuntungan buat dunia Timur. Seperti kisah Musa yang menghabiskan waktu di gunung Sinai, yang kemudian membawa Taurat, berlangsung 40 hari. Durasi banjir besar yang ditunggu dalam bahtera Nuh juga dalam angka 40. Dan masih banyak lagi kejadian lain yang dinisbahkan kepada angka itu.

Artinya, 40 merupakan angka yang menandakan waktu perjuangan, atau peralihan untuk mempersiapkan sebuah awal baru. Maka, bagi siapa pun yang memasuki usia 40 tahun, pertanda kesempurnaan untuk menjemput takdir baru. 

Dan begitulah, pada angka itu, Muhammad melihat secara langsung Jibril tepat di hadapannya. Ia datang menyampaikan untaian puitis pesan Tuhan. 

Tentu saja Muhammad kaget, dan sama sekali tak mengira. Karena sebelumnya, Muhammad berhubungan dengan wahyu adalah melalui mimpi nyata, indah, melapangkan, dan menenangkan jiwa. Ya, mirip ilusi para penempuh ruhani, yang ternyata itu sebagai persiapan Muhammad menerima tongkat estafet penutup kenabian. 

Bahwa pada saat berkontemplasi spiritual yang tampil adalah pemandangan-pemandangan indah yang melapangkan dada, yang menyejukkan jiwa.

Namun, penurunan wahyu Iqra’ berbeda, Jibril tidak datang dalam mimpi, tapi nyata. Sehingga, dalam hal ini saya beda pandangan dengan Dr. Muhammad Husain Haikal, dalam bukunya yang sangat terkenal, Sirah Muhammad. Atau dengan Dr. Muhammad Sameh Said dalam Muhammad Sang Yatim

Haikal mengatakan, dan begitu pula umumnya kaum rasionalis, bahwa Muhammad menerima wahyu dalam keadaan tidur, yakni mimpi. Sebagaimana diuraikannya, ketika suatu hari Muhammad sedang tidur di gua Hira, datang malaikat membawa suatu lembaran dan menyuruh Muhammad untuk membaca. Muhammad berkata, “Apa yang harus aku baca?” Dan seterusnya ….

Saya lebih condong kepada Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, dalam The Great Episodes of Muhammad, (atau terjemahan lain seperti dalam gambar si atas: Sirah Nabawiyah). Sesungguhnya wahyu turun bukan melalui mimpi, melainkan kenyataan yang dialami oleh Muhammad dalam keadaan sadar. Sebab hal demikian inilah yang sesuai dengan agungnya peristiwa itu, yang kita kenal sebagai lailatul qadr.

Kita ketahui, sebelumnya Muhammad adalah manusia biasa yang menjalani lumrahnya kaum pria suku Quraisy. Tentunya di luar kemuliaan akhlaknya sebagai pribadi yang senantiasa gelisah melihat ketidakadilan. Ia tetap menjalani bahtera keluarga, berdagang di pasar, dan terlibat dalam pemugaran Ka’bah, dst.

Nah, dalam puncak memikirkan realitas sosial itulah, Jibril datang membawa pesan kenabian kepadanya. Jibril mendekap dan melepaskannya hingga tiga kali. Muhammad merasa takut dan cemas dengan yang didengar dan dilihat.  

Setelah itu Muhammad bergegas pulang ke rumah. Padahal ia berencana untuk menginap dua malam lagi di ceruk bukit Hira itu. Dan sebagai manusia biasa, ia tidak pernah mendambakan kerasulan. Fenomena wahyu dan kehadiran Jibril itu tidak selaras dengan apa yang dibayangkan atau terlintas dalam benaknya. 

Itu adalah sesuatu yang baru dalam hidupnya dan terjadi secara tiba-tiba tanpa pernah ia perkirakan. Ia terus berjalan pulang sembari memikirkan penuh bimbang bahwa sosok yang muncul di hadapannya itu, yang kemudian mendekap dan berbicara kepadanya adalah jin. 

Muhammad terengah-engah di ambang pintu, dan Khadijah bergegas menyambutnya. Dalam dekapan istrinya, Muhammad terbata-bata, masih gemetar ketakutan, “Aku benar-benar khawatir.”

Dengan tenang, Khadijah menuntun suaminya duduk. “Selimuti aku! Selimuti aku! Selimuti aku!” ujar Muhammad yang meletakkan kepalanya ke pangkuan Khadijah.

Jebara menceritakan, Putri-putri mereka—Zainab, 12 tahun; Ruqayyah, 10 tahun; Ummu Kultsum, 8 tahun; dan Fathimah, 5 tahun—bergegas menghampiri sang ayah. Ketiga anak yang lebih besar meringkuk di dekat kaki, sedangkan Fathimah menenangkan dengan memeluk punggung.

Di tengah keluarganya yang demikian itu, kalut Muhammad berangsur reda. “Aku mengkhawatirkan jiwaku,” ujarnya. “Kupikir aku pasti sudah gila.” 

Muhammad khawatir dirinya terkena gangguan jin. Namun, dengan lembut Khadijah menghibur suaminya, “Tuhan tidak akan meninggalkanmu. Kau ini orang terhormat. Kau selalu berbuat baik kepada yang lebih lemah, menolong yang tertindas, para janda, dan yatim piatu. Kau ayah yang baik dan suami yang luar biasa. Apa tepatnya kata-kata dari sosok itu?”

Muhammad duduk dan perlahan-lahan menyampaikan lima ayat Al-‘Alaq. Khadijah terkesima dan langsung teringat dengan ucapan pria Yahudi yang mucul di sudut kota Makkah 30-an tahun silam. Saat itu waktu duha, Khadijah bersama sahabat-sahabat karibnya, dan pria itu berujar, “Telah tiba waktunya seorang nabi terakhir, siapa di antara kalian yang jadi istrinya, beruntunglah.”

Khadijah pun menatap takjub pada suaminya, sementara Muhammad sendiri masih diselimuti kebimbangan.

Ungaran, 12 Oktober 2023 

Baca juga: Menerima Wahyu


Post a Comment

0 Comments