Menerima Wahyu

Dari canva untuk mendukung gambaran Hira

KHADIJAH yang bernaluri bersih, apalagi mendapat penegasan Waraqah bin Naufal, makin yakin bahwa suaminya adalah calon nabi yang tersiar luas itu. 

Maka, ketika Muhammad Saw. berhasrat untuk menepi di gua Hira, Khadijah mendukungnya. Sama sekali ia tak menghalangi. Ia tak menuntut suaminya untuk menghidupi keluarga dengan terus-terusan sibuk menjalankan perdagangan, baik di Makkkah maupun ke luar Makkah. 

Apalagi memang, semenjak putri ketiga mereka, Ummu Kultsum, lahir, Muhammad Saw. memutuskan untuk tidak lagi menempuh perniagaan ke luar Makkah. Karena menyadari, beliau sepenuhnya harus menjaga biduk rumah tangga yang dibangunnya.   

Muhammad Saw. terkenang, betapa dulu ibunya berjuang sendirian mengandungnya, hanya bertemankan Barakah. Sementara Abdullah bin Abdul Muthalib, sang ayah, pergi jauh berniaga ke negeri Syam. Itu sebab, beliau tak tega lagi meninggalkan Khadijah ke tempat yang jauh dan berbulan-bulan.

Di rumah, Khadijah pun mengimbangi semangat suaminya menjaga keluarga. Ia mengajari Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah, termasuk kepada Zaid dan Ali, membaca dan menulis. Ia, sebagaimana suaminya, tidak membedakan anak perempuan dengan anak laki-laki. Anak kandung dan anak angkat.

Namun, menjelang usia 40 tahun, Muhammad benar-benar gelisah. Sejak usia remaja beliau memang tidak sepaham dengan realitas masyarakat Makkah yang berorientasi pada segala macam “kekuatan” yang tak esensial, seperti kekayaan, kekuasaan, status sosial, “keberuntungan”, dan lain-lain. 

Para bangsawan dan hartawan Quraisy gemar menjadikan kaum miskin sebagai budak. Kaum pria mendudukkan perempuan hanya senilai komoditi barang dan pemuasan nafsu seks semata. 

Moda perdagangan yang kapitalistik, yang bermuara pada keuntungan dengan merugikan yang lain, sudah jamak di mata Muhammad Saw. Intinya, ketidakadilan merasuk di semua lini kehidupan. Dan beliau sungguh gelisah, terutama semenjak memulai hidup baru bersama Khadijah, pikiran dan perasaan yang diliputi gelisah kian mendesak.

Khadijah menyelami gundah gulana suaminya. Dan hal itulah yang justru membanggakannya, ia tak salah dulu berinisiatif melamar Muhammad. Sebagai perempuan cerdas, ia mengerti banget dan sepaham dengan suaminya bahwa mereformasi sosial harus berlandas pada solusi spiritual baru. Kalau tidak, niscaya perubahan itu akan tetap dangkal.

Nah, pada suatu sore, saat berjalan-jalan berdua, Khadijah melihat rona muka suaminya makin mendung. Serasa tersaput awan tebal, dan Khadijah paham betul apa yang direnungkan suaminya.

Sembari menyaksikan matahari tenggelam di balik bukit, Khadijah berkata lembut, “Kekasih hatiku, aku sudah lama menyadari kegundahan yang membebanimu. Aku tidak akan memaksamu mengungkapkannya, tetapi ketahuilah bahwa aku akan selalu mendukung dan mendampingimu dengan seluruh dayaku.”

Dengan berkaca-kaca, Muhammad Saw. memeluk istrinya dan mengecup keningnya. “Aku perlu merenung. Aku memerlukan waktu untuk memahami isi hatiku sendiri.” ujarnya.

Begitulah akhirnya. Pada suatu pagi yang sejuk, pada saat musim semi, Muhammad Saw. memulai perjalanan ke gua Hira. Khadijah membekalinya dengan kurma kering, air minum, dan sebotol minyak zaitun untuk tiga hari. 

Selagi matahari masih di ufuk timur, dengan memeluk si kecil Fathimah, Khadijah beserta tiga putri dan dua putra angkatnya berdiri di ambang pintu melepas keberangkatan sang suami menghilang di balik bukit. Muhammad Saw. berjalan naik turun bukit mengikuti jalur yang di samping kiri kanan terdapat pepohonan.

Muhammad Saw. tengah mencari solusi baru. Ia duduk di dalam gua Hira, melayangkan pandangan ke arah pepohonan nan hijau yang membuat jiwa tenang, sebelum akhirnya benar-benar berdiam diri merenung. 

Tiga hari beliau menjalani perenungan. Kemudian pada pagi hari keempat, sebelum tengah hari, beliau pulang ke rumah sembari membagikan sumbangan untuk orang miskin. Khadijah menyambut bahagia kedatangan suaminya. Ia menyimak penuh perhatian cerita yang dituturkan sang kekasih hati.

Tak lama sesudah itu, Muhammad Saw. kembali bersiap untuk meneruskan laku merenung ke gua Hira. Khadijah, seperti yang sudah, menyiapkan bekal secukupnya. Dan hal itu berulang kali, jika perbekalan habis, Muhammad menjemput bekal untuk hari-hari selanjutnya. 

Beliau pun mulai mendapatkan mimpi-mimpi ilahiah, yang bersinar dengan harapan dan janji. Yang mendatanginya seperti semburat fajar di pagi hari. Yang menenangkan hatinya. Yang memendarkan segenap gelisahnya.

Hingga suatu hari pada bulan Ramadhan, tepatnya 6 Agustus 610 M, tidak seperti biasa Muhammad Saw. tak kunjung datang mengambil perbekalan. Khadijah cemas dan mengutus Zaid untuk menjemput atau mencari keterangan sebab keterlambatannya.

Ketika itu, menjelang senja atau setelah zuhur, Muhammad Saw., yang juga tidak sebagaimana sebelumnya yang memperoleh ketenangan dengan cahaya yang menyelimuti jiwanya, dengan kesadaran penuh didatangi Jibril.

Jibril atau Roh Kudus, duta antara Allah dan para rasul, meminta Muhammad Saw. untuk membaca. Namun, ia membalas, “Apa yang mesti saya baca?” 

Malaikat Tuhan itu kembali berseru, “Ucapkan, kumpulkan, dan ingat-ingatlah ayat-ayat dan surah-surah yang bakal aku transmisikan padamu sebagai pesan dari Allah.” 

Dan Muhammad bersikukuh mengulangnya sampai tiga kali, “Apa yang mesti saya baca?”

Selanjutnya, Jibril mendiktekan kepada Muhammad apa yang harus diucapkan: “(1) Bacalah dengan nama Pemeliharamu, yang telah mencipta (2) menciptakan manusia dari sebuah sel benih! (3) Bacalah sebab, Pemeliharamu adalah Yang Maha Pemurah (4) yang telah mengajarkan menggunakan pena (5) mengajarkan manusia apa yang tidak dia ketahui!

Itulah pesan puitis pertama atau wahyu yang diterima Muhammad Saw. dari kurir-Nya. “Seolah-olah kata-kata itu terpahat di dalam hatiku.” Ujar beliau suatu kali. 

Ungaran, 7 Oktober 2023 

Post a Comment

0 Comments