Dengan Sayyidah Khadijah

Bilik Cinta Muhammad

Saya terkesan kisah romantis Nabi Muhammad bersama Sayyidah Khadijah. Tidak saya pungkiri, Khadijah yang 40 tahun—saya tidak menampik usia ini, tapi saya cenderung meyakini usianya saat itu 28 tahun—bukanlah seorang muda. Walau demikian, sebagaimana penuturan Nafisah, penampilan Khadijah tetaplah sebagai perempuan yang mengundang decak kagum. 

Sekarang saja, usia 40 tahun buat para perempuan rupawan tetaplah menarik dipandang. Apalagi keadaan Khadijah sebagai kaum berada, jelas dari segi fisik ia terjaga. 

Sementara, Muhammad Saw. yang sungguh istimewa itu, sama sekali tak terjerat faktor kesenangan jasadiah. Seandainya, sebagaimana lazimnya pemuda seusianya, niscaya akan mencari orang yang lebih muda atau minimal orang yang tidak lebih tua darinya.

Kemudian, saya bayangkan perempuan matang nan cantik turun dari balkon memasuki ruangan dalam balutan gamis sutra dari Tiongkok. Ia duduk di bantal merah menemui Muhammad Saw. yang duduk di lantai berlapis permadani. 

Perempuan itu adalah Sayyidah Khadijah. Seorang janda, tapi tetap tampak rupawan, malahan makin cantik. Berkalung dan beranting emas. Kulitnya pun cerah, menggambarkan kehidupannya yang terbebas dari debu padang pasir dan jauh dari sengatan matahari.

Muhammad Saw. datang untuk menjelaskan hasil perjalanan dagangnya ke Damaskus. Sebuah hasil dagang yang mengejutkan sang empu rumah. Malahan tiga kali lipat hasil keuntungannya. Dan Khadijah sadar betul bahwa ia akhirnya tak sekadar tertarik dengan hasil yang dicapai, tapi lebih dari itu, Khadijah menaruh hati kepada pemuda tampan Muhammad.

Bahkan jauh sebelum kedatangan Muhammad di rumahnya, Khadijah telah mengorek keterangan dari Maysarah. Dan kesimpulannya, Khadijah merasa telah menemu pria idaman yang bakal menjadi pendamping hidupnya.

Di mata Sayyidah Khadijah, Muhammad Saw. adalah laki-laki sempurna. Pemuda sopan dan kukuh menjaga harga diri. Maysarah telah menceritakan kepadanya, selama berinteraksi dengan orang di Damaskus, tak sekali pun Muhammad itu menipu, tak pernah bertengkar. 

Dr. Nizar Abazhah, dalam buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad, menuturkan bahwa Khadijah ingat dengan ucapan sepupunya, Waraqah, akan datangnya seorang nabi akhir zaman. Maka, perangai Muhammad yang sungguh menawan hatinya itu langsung dinisbatkan kepada cerita Waraqah.

Khadijah, selain memang sudah tertambat hatinya kepada pemuda ini, juga berharap bahwa Muhammad-lah sosok nabi yang ditunggu-tunggu oleh kaum monoteis itu. Tapi mungkinkah, selagi kemudian ia sadar diri bahwa Muhammad toh masih seorang belia, 25 tahun, sedang dirinya seorang janda.

Sayyidah Khadijah telah menjanda yang dua kali bersuami. Namun sahabat Khadijah, Nafisah, meyakinkannya, “Tidak, Khadijah! Di tengah kaummu kau tetap terhormat. Kau tampak muda bak seorang gadis. Dan jangan lupa, banyak orang yang melamarmu, tetapi Kau tolak.”

Sepeninggal Nafisah, Khadijah termangu. Ia teringat kejadian beberapa tahun silam. Saat Khadijah bercanda dengan teman-temannya di sudut kota Makkah, tiba-tiba datang seorang Yahudi dan berkata, “Telah tiba masa kedatangan nabi terakhir, siapa di antara kalian dapat menjadi istrinya, lakukanlah!”

Juga merenungi penuturan sepupunya, Waraqah, Khadijah makin dalam duduk termenung. Ia memikirkan apa yang akan diomongkan Nafisah, sahabat karibnya, dan bagaimana reaksi Muhammad kemudian. Di hati kecilnya Khadijah pun berdoa, Muhammad adalah nabi terakhir itu. Tapi, akankah Muhammad yang muda belia itu menerima lamarannya? Apakah Muhammad masih menaruh ketertarikan kepada dirinya yang lebih tua? 

Semakin mendalam memikirkannya, Khadijah benar-benar makin tertarik pada kejujuran Muhammad Saw. Khadijah sungguh berhasrat untuk menikah dengan jejaka Muhammad Saw.

Di tempat terpisah, di sebuah jalan menuju Ka’bah, Nafisah mendekati Muhammad dan berbisik, “Muhammad, aku Nafisah binti Muniyah. Aku membawa kabar dari seorang perempuan agung, suci, dan mulia. Ia sangat cocok denganmu.”

“Siapa dia?” tanya Muhammad.

“Khadijah binti Khuwailid. Kau sangat mengenalnya.” jawab Nafisah. “Tak usah Kau jawab sekarang. Pikirkan dulu matang-matang. Besok atau lusa baru dijawab.”

Muhammad Saw. kaget. Ia bertanya-tanya, benarkah berita yang dibawa Nafisah? Mungkinkah Khadijah mau kepadanya? Bukankah ia seorang perempuan cerdas, dan kaya pula? Sedang dirinya, sekadar pemuda dari pengasuhan seorang Abu Thalib yang miskin. Dan, baru-baru ini saja menjalani bisnis Khadijah.

Tak pelak, Abu Thalib juga terkejut mendengar kabar yang disampaikan keponakannya. Ia tahu betul bahwa Khadijah menjadi pusat incaran semua orang. Sedang di rumah ini, Abu Thalib, juga keponakannya hanya bermodal martabat moral atau budi luhur, bukan harta. Sebuah keluarga bersahaja yang tak bertumpu kepada kekayaan harta benda.

Nah, setelah berkonsultasi dengan pamannya, Abu Thalib, dan bibinya, Fathimah, serta paman-pamannya yang lain, lamaran Khadijah itu pun diterima. Tampaknya, dari sisi beliau sendiri menyetujui tawaran dari Khadijah lebih karena kemuliaan akhlaknya di antara kerabat dan kaumnya. Sampai-sampai, di kalangan Quraisy, Khadijah pernah mendapat julukan ‘Afifah Thahirah, wanita suci.

Terlebih kemudian, sekira mau memadu Khadijah, jelas Muhammad akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang adat atau kebiasaan masyarakat saat itu. Lebih-lebih, dia menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan lebih tua.

Ungaran, 4 Oktober 2023

Baca juga: Karakter Muhammad Saw

Post a Comment

0 Comments