Perlahan-lahan aku menuruni tangga yang terus menurun tajam. Istriku pun masih tampak semangat, mengiring langkahku. Ya, kompleks makam Mbah Dalhar itu memang berada di ketinggian yang tak biasa buat kakiku yang jarang berjalan jauh.
“Kita mampir di warung ujung sana itu, Yah!” ajak Rahma, istriku.
Aku mengangguk saja, karena untuk menyahut rasanya sudah tak kuasa. Dan tepat jam delapan malam, kami mengantre di warung tersebut. Lumayan besar warung makan ini, terletak di pinggiran jalan utama menuju kompleks makam. Aku mencari tempat duduk di pojok, dan Rahma yang memesan makanan.
Seraya berlepas perasaan lega, usai meniti tangga dari pesarean Mbah Dalhar, pandangan mataku tertuju pada poster seorang pria tampan usia 40-an di dinding warung. Ya, aku tahu itu poster Ali bin Abi Thalib. Rambutnya hitam panjang jatuh terurai di bahu. Rahangnya kokoh dengan jenggot dipangkas rapi, alis matanya tebal melengkung, matanya gelap bersinar lembut. Sungguh, tampak percaya diri.
Aku lihat Rahma masih berdiri antre. Dan memang, malam ini banyak orang yang berkunjung ke sini. Sepertinya mereka pun sudah saling kenal. Di sana sini mereka mengobrol dan tampak bersantai, duduk satu meja panjang.
Sedangkan aku bebas melintaskan sosok di poster itu dalam benakku, karena posisiku di pojok ujung. Aku membayangkan Ali belia. Ya, terlintas di benak tatkala Ali yang terhitung masih belia berikrar mengimani keyakinan yang dibawa Muhammad Saw. Ketika itu ia baru berusia 13 tahun.
Dalam jamuan di rumah Khadijah, saat Muhammad mengundang kerabat terdekatnya dan meminta dukungan mereka. “Siapa di antara kalian yang akan menolongku?” tanya Muhammad.
“Aku, wahai Nabi Allah, aku penolongmu dalam hal ini,” lantang Ali.
Muhammad terharu mendengar komitmen total sepupunya yang masih belia itu. “Beliau merangkulku,” kenang Ali, “dan berujar, ‘inilah saudaraku, wali yang paling kupercaya, dan penerusku di antara kalian semua, jadi dengar dan patuhilah dia’!”
Kemudian semua orang berdiri dan mulai bercanda. Sembari melenggang meninggalkan rumah Muhammad, mereka berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad telah memerintah supaya Anda mendengar dan mematuhi ucapan anakmu.”
Tampaknya penegasan Muhammad tersebut menandai ide kesetaraan, yang secara otomatis face to face dengan tatanan yang diyakini oleh para kerabat yang diundang. Bahwa tak akan ada lagi satu suku yang berkuasa atas suku lainnya. Tak akan ada lagi satu klan yang mengklaim berkuasa atas suatu suku lainnya, dan tak akan ada lagi satu keluarga dalam suatu klan. Semua sama di hadapan Allah yang Satu, semua saling menghormati antarsesama anggota masyarakat yang bertatanan baru, tatanan kaum beriman.
Namun saat itu Ali jelas-jelas masih remaja belia. Bagaimana ia akan memenuhi standar Muhammad? Berasa mustahil. Mengayunkan sebilah pedang saja belum sanggup. Maka, wajar kalau para kerabat menganggap Muhammad sedang bercanda tentang risalahnya.
Terlebih pada waktu itu, Muhammad masih dianggap sebagai seorang laki-laki yang belum memiliki kekuatan, seorang yatim piatu yang dibesarkan di rumah pamannya dan hanya meraih kekayaan melalui istrinya, Khadijah.
Jadi bisa dibayangkan, betapa susahnya Muhammad menghadapi situasi batin yang menyelimuti suku Quraisy, dan lebih-lebih Bani Hasyim, keluarga besarnya sendiri.
Mereka paham betul, Muhammad yang hanyalah terlahir yatim, dan selang berapa tahun kemudian ibunya wafat, tiba-tiba menyatakan dirinya sebagai nabi, sebagai seorang yang menerima wahyu dari Jibril.
Dan makin berasa aneh, seseorang yang bukan siapa-siapa itu menyatakan bahwa Ali sebagai penerusnya, dan mereka agar mau mengikutinya kelak.
“Ayo, melamunkan siapa?” seloroh Rahma mengagetkanku sembari menenteng nampan berisi dua mangkuk mie kuah dan dua cangkir wedang rempah.
“Ah, Bunda.”
Selanjutnya, tanpa banyak cakap, kami melahap mie kuah itu. Sementara di luar, tiba-tiba terdengar hujan turun menderas. Sehingga, menambah betah untuk berlama-lama duduk di pojok ujung.
Mangkuk telah kosong, wedang rempah tinggal separuh, tapi hujan kian lebat. Ruangan warung—atau lebih tepatnya kedai kopi—itu tak berubah, tetap menyenangkan, meja-meja besar kecil dikelilingi beragam bentuk kursi kayu. Aroma kopi dan kepulan asap rokok pun tak menggeser posisi kami. Rahma, seperti biasa, asyik berselancar dengan ponselnya. Sementara aku kembali mengamati poster laki-laki tampan itu.
Dari sirah aku ketahui Ali sedari dini telah tinggal di rumah Muhammad dan Khadijah. Karena Muhammad tidak memiliki anak laki-laki yang hidup hingga dewasa, maka Ali ini yang kemudian menjadi pelipur kehadiran seorang putra yang membimbing “adik-adik perempuannya”.
Dalam film The Message, Ali terkenal sebagai ksatria tangguh di medan peperangan, dengan ujung pedang yang bercabang. Ali seorang prajurit perang terbaik, tetapi dia juga seorang yang membenci perang. Apalagi perang saudara.
Kemudian, 23 tahun setelah Baginda Muhammad wafat, ketika Ali dibaiat sebagai khalifah, menggantikan Utsman, ada dua perang besar yang sebetulnya sangat ia benci. Pertama, Perang Unta, Oktober 656. Perang yang melibatkan Ibunda Aisyah, yang menuntut keadilan atas terbunuhnya Utsman.
Janda kesayangan Nabi yang paling vokal, yang memeluk kepala Baginda Muhammad saat terbaring menjelang wafat, jelas tidak terima seorang khalifah mati terbunuh di tangan sesama kaum beriman. Prinsip itu yang menuntunnya bergerak ke Kufah agar Ali segera mengadili kaum pemberontak dan pembunuh Utsman.
Sebetulnya, sebelum perang akhirnya benar-benar berkecamuk, telah ada kesepakatan damai dan saling memahami persoalan, baik di pihak Aisyah maupun Ali.
Namun, tatkala mereka, kedua kubu pasukan, beristirahat dengan tenang dan nyaman di tenda masing-masing, orang-orang perusuh yang terlibat dalam pemberontakan dan pembunuhan Utsman dilanda gelisah yang luar biasa.
Para pengusung kerusuhan itu sebetulanya tidak termasuk dalam kedua kelompok yang telah bersepakat menjaga kedamaian dan ketenangan. Mereka itu adalah Asytar, Syuraih, Abdullah bin Saba, Salim, dan Ghulam.
Pada malam itu diam-diam mereka menyusup dan bercampur dengan pasukan, baik dari pihak Ali maupun Aisyah, untuk mengobarkan peperangan kepada siapa saja yang berada di sekitar mereka.
Sesuai komando dari Abdullah bin Saba, mereka menebaskan pedang menyerang orang di sekitar mereka, sehingga setiap orang bangun dan bangkit mengambil senjatanya.
Para perusuh berteriak bahwa orang Kufah yang menyerang, lalu melarikan diri. Sontak, pasukan Aisyah menyangka pasukan Ali berkhianat.
Demikian pula yang terjadi di kelompok Ali. Para perusuh yang telah menyusup dalam pasukan Ali berteriak, pasukan Aisyah berlaku curang, berani menyerang pada saat lawan sedang beristirahat.
Akibatnya, perang saudara tak terelakkan. Sejarah mencatatnya sebagai Perang Unta. Ali membawa 20.000 tentara, sementara Aisyah ada 30.000 orang. Tak pelak Abdullah bin Saba bersuka cita melihat pasukan Ali dan Aisyah baku hantam satu sama lain.
Kedua, Perang Siffin, awal musim panas 657. Pasukan Ali bertempur dengan pasukan Muawiyah. Perang berlangsung tiga hari, dan akhirnya Ali beserta pasukannya menguasai medan perang. Pihak Muawiyah yang memberontak kewibawaan Ali pelan tapi pasti tidak sanggup lagi bertahan.
Namun, Muawiyah sudah terbiasa dengan tipu daya. Ia memerintahkan pasukannya untuk menancapkan lembaran perkamen Al-Quran di ujung tombak, lalu bergerak mengendarai kuda ke garis pertahanan Ali.
Ali tertegun pahit. Ia sadar bahwa Muawiyah mengangkat kitab suci hanya untuk menipu. Tetapi sayang, tidak semua pasukan Ali mengerti dengan tipu daya Muawiyah. “Kita tidak bisa memerangi Al-Quran,” teriak setengah dari pasukan Ali yang polos tidak memahami tipu daya.
Ali terpaksa menerima ajakan berunding. Selanjutnya jauh setelah perundingan antara pihak Ali dan Muawiyah, muncul kelompok ketiga yang menghendaki keduanya mati. Kelompok ini menyebut diri Khawarij.
Dan peristiwa tragis itu terjadi Jumat subuh, 26 Januari 661, seorang Khawarij menyelinap masuk masjid dan mengelebatkan pedangnya di atas kepala Ali. Sambaran pedang itu membuat Ali terluka, tidak fatal sebetulnya, tapi racun yang dioleskan ke mata pedang itu yang telah berhasil menunaikan tugas eksekusi.
Hasan dan Hussein memandikan jenazah ayah mereka, kemudian menaikkan jasadnya ke atas unta tunggangan kesayangan Ali dan melepasnya tanpa kendali.
Hal itu persis, saat Baginda Muhammad hendak menentukan posisi masjid Madinah, di mana unta berhenti di situ masjid dibangun. Nah, pun demikian di mana unta yang memanggul Sayidina Ali berhenti, di sanalah jasadnya dikebumikan. Yakni di Najaf, enam mil arah timur Kufah.
“Sudah jam setengah sepuluh, gimana nih Yah, di luar masih deras?”
Aku mengangkat bahu, terserah Rahma.
Ungaran, 21 November 2024
Baca juga: Setara
0 Comments