Semula saya tak meminati segala yang bernuansa alam. Sebab bagi saya itu hal biasa. Saya lahir dan besar di desa pinggiran Kota Sragen, Girimargo. Kemudian berkeluarga dan tinggal di Ungaran, yang juga merupakan kota kecil, yang masih banyak tempat-tempat alami.
Bahkan saya sempat menelan rasa kecewa ketika mendapati tempat tinggal di kompleks perumahan sempit yang ternyata persis di pinggir sawah, Desa Lerep. Jauh dari ekspektasi: akan tinggal di kawasan padat penduduk, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit dan hotel berbintang. Dekat mall-mall. Dan lain sebagainya.Yang alami bukanlah sesuatu yang istimewa. Hal yang teramat biasa saja bagi saya. Sehingga saya pun sempat mendambakan bakal mengisi keseharian hidup bersama anak-istri di tengah keramaian dan gemerlap kota. Memang, saya mengerti bahwa yang alami itu bagus. Saya tak membantahnya. Namun, ya, sekadar mengetahui. Tak benar-benar menghayati. Apalagi sebagai gaya hidup. Ah, sama sekali tidak (eh, belum).
Namun Charlotte Mason via CMid Semarang membuka tabir yang menyelimuti benak saya. Semenjak itu, saya malah hobi keluyuran ke sungai, hutan, atau sawah. Tempat yang benar-benar alami, bukan artifisial. Saya kerap mengajak Rahma dan anak-anak untuk menikmati hutan pinus. Berjemur di pinggir Sungai Sapen, atau sekadar menyusuri pematang sawah yang membentang luas di Desa Lerep. Mereka pun tampak beriang gembira di tempat-tempat seperti itu.
Bagaimana dengan taman kota? Tak lagi menarik. Taman tidak terlalu alamiah. Sulung dan ragil kami tidak sreg lagi dengan mainan-mainan seperti jungkat-jungkit, ayunan, tangga melengkung, atau papan luncuran yang tersedia di taman. Mereka ingin yang apa adanya, bukan buatan.
Baca juga: Hutan Penggaron
Charlotte Mason telah menggeser cara berpikir kami. Bahwa yang alami tak sekadar bagus, dan memang bagus, tapi harus mengalami. Bahwa oksigen itu kita butuhkan, kita mafhum. Namun tak cukup hanya dengan memafhumi. Kita harus merasakan langsung betapa menghirup udara di alam bebas itu sungguh surga. Kita bisa saja menghadirkan alunan musik tentang suara burung, atau membuat taman hias di pekarangan rumah plus gemercik air.
Namun akan berasa istimewa ketika kita mendengar dan melihat langsung burung-burung beterbangan dan berkicau di hutan. Kita akan merasakan kedamaian ketika mendengar langsung bunyi air sungai yang menimpa bebatuan. Apalagi saat berendam di bawah guyuran air terjun, sungguh, betapa semua keindahan artifisial yang ada tak lagi mengundang selera.
Lantas, kami sekeluarga pelan-pelan belajar menghadirkan perasaan sayang terhadap alam. Menumbuhkan perasaan tak nyaman ketika membuang sampah sembarangan. Apalagi melemparkannya ke tengah sungai. Termasuk sampai hari ini, saya dan Rahma belum berkeinginan (selain karena apa daya, duit tak sampai) untuk mengeraskan sepetak halaman rumah, memang hanya secuil, dengan semen atau paving block. Memang becek jadinya, tapi itu lebih berasa di hati ketimbang membetonnya. Kaki ini, ketika tanpa alas kaki, berasa nikmat saat bersentuhan dengan tanah dan rumput, serta terbit sikap penghormatan yang tinggi kepada bumi. Saya acap memperhatikan Rahma, tampak impresi menyapu rontokan daun-daun yodium, mencabuti rumput-rumput yang mulai liar, dan menyiangi daun adenium, kemuning, pucuk merah, atau bidara.
Baca juga: Nature Walk
Artinya, saya beruntung mengenal Charlotte Mason. Kami sekeluarga bersyukur lantaran kini berkomunitas dengan para praktisi metode Charlotte Mason. Tidak hanya soal alam yang telah mengembalikan sikap hidup yang lurus. Tetapi juga terhadap pilihan buku. Pola belajar yang tidak lagi saklek, mesti bertarget seperti kurikulum sekolah. Termasuk harus me-review tujuan berkeluarga. Target pendidikan. Pola asuh. Dan seterusnya.
Ya, hijrah saya dan Rahma, serta anak-anak. Hijrah kami. Bahwa kemuliaan hidup berkeluarga bukan dari seberapa berlimpah sarana materi memenuhi ruangan rumah. Bukan dari seberapa banyak perabot dan perangkat elektronik menyesakki ruang tamu dan kamar tidur kami. Melainkan, terukur dari seberapa siap menjalani hidup bersahaja. Kenikmatan menempuh sehari-hari secara bersahaja. Tidak lagi menganggapnya sebagai “cobaan hidup”: berputus asa, memaki-maki keadaan, dan penuh prasangka jahat kepada Tuhan.
Kebahagiaan berkeluarga adalah ketika sanggup mengolah pustaka hidup. Mengatur belanja bacaan, dan bersama-sama mengobrolkannya ketika senja hampir lepas dan remang-remang menyelimuti kompleks perumahan. Ketika warna merah di kaki langit sebelah barat menghilang, saat itulah kami bertasbih pada Tuhan. Bersama-sama menebus dosa, mengakui kezaliman diri. Betapa pikiran ini cupet kalau tak diisi oleh pustaka hidup. Betapa perasaan ini dangkal sekiranya tak bersentuhan langsung dalam pelayanan sesama dan selalu terbuka pada alam.
Baca juga: buku dan alam
Walhasil, saya belajar. Kami belajar. Hijrah untuk memenuhi kedalaman relung hati dengan bunga-bunga, yakni hidup penuh keluhuran budi.
Ungaran, 25/10/2021
0 Comments