Di Balik Aksi Diam

 ngaji santri bajingan

Tiba di rumah menjelang dini hari. Ya, semenjak bulan Agustus yang lalu, kami jadi punya jadwal rutin. Yakni saban Rabu malam, kami berkendara sepeda motor melewatkan malam hingga dini hari di Semarang. Hawa romantis pun serasa merambati hati.

Seperti yang sudah-sudah, begitu masuk rumah, Rahma menaruh tas punggung mungilnya di atas meja di ruang tamu, lantas duduk bersandar di kursi panjang sembari memejam mata. Sementara aku lebih senang berlama-lama memandang si bungsu, Rakai, yang tampak begitu pulas di kamar tidurnya.

Namun, pada dini ini sedikit beda. Rahma tidak lantas lelap. Walau tampak memejam mata, dan raut lelah terbayang jelas, yang sepantasnya ia langsung istirahat.

Dia belum tidur, tapi juga tak mengajak aku bicara. Bahkan sejak dari kediaman Yai Guru hingga Ungaran, ia memilih diam. Naluriahku bertanya, “Ada apa dengan dia? Tidak biasanya begini.” 

Tapi pertanyaan itu tak sampai terucap. Aku hanya membatin, tak berani bertanya langsung. Takut bakal menyinggung perasaannya. Canggung memang, tapi ya, bagaimana lagi. Aku tak tahu persis harus mengatakan apa. 

Ah, nyata banget akhirnya, aku tak memiliki ketajaman mata batin. Padahal Rahma bukan orang lain bagiku. Ia adalah belahan jiwaku. Tapi, tetap saja aku masih kesulitan membaca maunya dia di balik aksi diamnya.   

“Ayah tidur ya, Bun.” Rahma hanya mengangguk seraya menyorotkan mata sayu. Tak sepatah kata pun meluncur dari lisannya. Kucium keningnya. “Bunda masih pengin di sini?” bisikku serius, bukan basa-basi.

***

“Dini tadi tidur pukul berapa, Bun?” kupijit telapak kaki untuk membangunkannya. Rahma luruskan pandangan mata pada jam dinding kamar yang sudah menunjuk pukul 05.15. 

“Ah, kesiangan!” keluh Rahma. Ia buru-buru ke kamar mandi. 

Akhirnya, dengan jurus sat set sat set ala Pakdhe Mung, persis pukul 06.30, kami berangkat. Saya pacu sepeda motor seiring tumpah ruah pengguna Jalan Pattimura yang lain. Memang, jam segini merupakan saat-saat arus macet. Semua berebut memadati jalan raya. Semua berebut segera tiba di tempat berkarir.

“Ayah besok jadi ke Purwokerto?” 

“Iya, jadi. Gimana, Bun?” 

“Ayah dah mantap?”

“Insya Allah mantap, Bun. Semalam kan dah dapat wejangan, sekira dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka pilih yang paling tidak disukai. Pilih yang lebih memberatkan hati.” 

Masih kuinjak pedal kuat-kuat dan jalan berkelak-kelok, aku terjang kemacetan. Di tengah bising suara klakson, persis di depan SMP Negeri 3, yang memang menjadi pusat macet, aku bersyukur Rahma buka suara. Tapi, dari nadanya ia sepertinya keberatan aku ke Purwokerto. Entah!

“Tapi Bunda lagi nggak pegang uang, Yah! Dari semalam Bunda pusing mikirin gimana mendapatkan kacamata buat Isa. Emang Ayah nggak ingat, pas video call, Isa cerita kedua matanya dah minus tiga. Sepenting apa sih Ayah ke Purwokerto?” 

“Sepenting agar kita dicintai oleh banyak orang, Bun.” selorohku, karena senang Rahma ternyata tidak sepenuhnya mendiamkanku.

“Kok bisa?”

"Bayangkan! Dengan berkumpul atau berorganisasi, benak kita tidak lagi dipenuhi pikiran-pikiran remeh. Gosip sana sini, nyinyirin kebijakan, jadi pemamah tren, dan ambisi-ambisi dangkal lainnya, tidak sempat menyusup di pikiran. Energi dan waktu kita tidak habis untuk mengeluh dan meratapi keadaan. Termasuk merasa tak berdaya di hadapan orang lain. Tetapi kita akan sibuk memikirkan cara membantu anak-anak di negeri ini untuk merdeka belajar secara berkualitas. Keren kan!"

“Keren sih keren. Hanya sayang, baru teori! Lagian Bunda juga nggak ngerasain kata-kata Ayah ini sungguh keluar dari lubuk terdalam.” 

“Sok tahu, Bunda. Dah nyampai sekolah nih.”

“Tapi tolong Ayah pikir-pikir lagi, Jangan egois gitulah!” sontak aku tertegun dikatai egois. 

Rahma cium tanganku dengan sopan, kemudian bergegas menuju pintu gerbang SD Assalam.

***

rahma

Siang pukul 13.00, aku jemput istri di pasar, sepulang ia mengajar di Assalam. Berboncengan sepeda motor. Langit Ungaran gelap, dan detik berikutnya, kami benar-benar kehujanan. Tak membawa jas hujan. Kami ingin berhenti, dan berteduh di emperan ruko, tak mungkin karena Rakai di rumah sendirian. Ia tengah menunggu kami. Atau lebih tepatnya, menanti sayur dan lauk yang kami beli di warung pojok pasar. Ia belum makan siang.   

Kami terpaksa harus mengebut di Jalan Pattimura. Harus! Susul-menyusul dengan pengguna jalan yang lain. Basah kuyup. Ya, mau tak mau. Sepanjang perjalanan, aku dan Rahma terbayang wajah melas Rakai yang menunggu asupan makan siang.

Nah, kalau sudah begitu, aku acap “marah” dengan para pemilik mobil. Mereka bebas melenggang tanpa hambatan. Mereka seakan berkuasa. Yang bisa apa saja di jalan raya, walau hujan mengguyur. Bahkan, dengan kencang mereka menyalip sepeda motor kami. Lengkap dengan meninggalkan cipratan air genangan ke sekujur tubuh kami. 

“Sabar, Yah!” suara lembut istri, sembari memijiti punggungku. “Ingat semalam Yai Guru mewejang apa?”

“Beliau mengingatkan,” lanjut Rahma, “Tanda memperturutkan nafsu itu senang memaki keadaan. Suka mengerjakan hal-hal yang tidak substantif. Lah Ayah menggerundeli air hujan, menggerundeli kendaraan mobil, itu sama saja bergegas melarutkan diri dalam dekapan hal-hal remeh, yang tidak penting.”

“Ah, klasik!” aku mendesis, masih belum marem perasaan dongkol ini, walau Rahma mengingatkan. Lagian, bukankah memang pembangunan di negeri ini hanya akan selalu berpihak kepada yang kaya. Hanya akan memenangkan yang punya. Bahwa segala kemudahan adalah milik sah kaum berada. Sementara yang daif: cukup menggerundel. Kami yang bersepeda motor, jangan bermimpi untuk melenggang di jalan tol, yang kini pembangunannya terus digenjot. Kami yang kerdil plus dekil, jangan mengandai terbang bersama Garuda dari bandara internasional. Atau paling tidak Lion.

“Ayah nggak terima dengan keadaan ini kan? Bukankah tadi pagi bilang telah mantap akan ke Purwokerto? Bukankah di sana akan tebar manfaat berlimpah buat banyak orang? Gimana sih? Makin jelas banget, ucapan Ayah keluar dari hati yang keruh.”

“Iya, ya, udah ah! Nggak usah dibahas!”

“Nah, yang begini ini jeleknya Ayah. Tidak mau menjadi pendengar yang baik. Padahal kan jelas, dan Ayah dengar langsung, bahwa yang substantif itu adalah hal-hal yang dilakukan oleh orang banyak. Hal-hal yang kecil kemungkinan kita bisa memperoleh nilai plus darinya, karena sudah jamak dikerjakan orang. Sebaliknya, butanya mata hati ini karena mengerjakan sesuatu yang hanya segelintir orang yang melakukan, sehingga rawan pujian, sehingga terbuka lebar menjadi yang paling top.”

“Terus hubungannya apa dengan hujan-hujanan ini?” Tapi jujur, saya benar-benar alhamdulillah hujan mereda. Dan, sebentar lagi sampai rumah.

“Hubungannya Ayah belum bisa rida dengan diri sendiri. Tidak rida dengan hak orang lain. Ayah masih demen berlagak sok pahlawan yang hobi menggugat keadaan. Ayah ingin disebut manusia kritis.”

“Kok larinya ke situ?” 

“Ada hal yang lebih penting ketimbang sekadar menunaikan acara di Purwokerto, Yah.”

“Oalaaah… Bunda nggak rida ta Ayah ke Purwokerto. Yang jelas dong, nggak usah muter-muter. Pakai aksi diam lagi semalam.”  

Ungaran, 25/11/2021

Baca juga: Makanan Ruhani

Post a Comment

2 Comments

  1. Isa kelas berapa? Semoga segera dapat kacamata ya.. biar nyaman belajarnya. saya jadi ingat masa kecil saya. Sejak SD sudah gangguan penglihatan (myopia) tapi baru pakai kacamata kelas 2 SMP. Salam buat Mbak Rahma

    ReplyDelete