Jadi Orang

 Jadi orang

Ponselku tiba-tiba berbunyi. Kulihat tak ada nama, hanya nomor yang terpampang di layar. Dengan malas aku menyambarnya.

“Ya, hallo!”

Assalamualaikum. Saya dah tahu maksud baikmu dari Iwan. Sekarang saya pengin langsung dengar dari kamu!”

“Maaf, ini dengan siapa ya?”

“Saya Rahma.” suara lembut itu menjawab.

Sontak berkelebat sesosok senior yang begitu kuhormati. Ia sabar membimbingku dalam sebuah pergerakan mahasiswa. Namun aku tak begitu akrab dengannya. Tahu dirilah: aku sosok brengsek, sedang ia anggun. Dan, omong apa Iwan. Tiada angin tiada hujan kenapa tiba-tiba ada orang menagih jawabanku. Kenapa yang menagih Rahma, instruktur senior yang jajah milangkori dari pelatihan ke pelatihan.

“Sebentar ya, Mbak! Maaf, nanti saya sambung lagi, ini warung lagi ramai.” aku mencoba menghindar karena benar-benar bingung harus jawab apa. Dan apa sesungguhnya yang diomongkan Iwan pada sang mbak di seberang sana entah di mana itu, juga aku tak mengerti.

Setelah hubungan terputus, tepatnya si Rahma memutus hubungan panggilan di telepon genggamku, aku menghubungi Iwan, sahabat karib sekaligus kakak kelas di SMA Sragen.

“He Dab, ngomong apa ke mbak Rahma?”

“Tenang, Par, Rahma mau kok sama kamu!”

“Maksudmu?”

“Iya, ia mau nikah sama kamu.”

“Apaaa! Aku kan belum siap? Dan kenapa Mbak Rahma?”

“Ah, usah cemas soal persiapan! Lagian kamu juga bilang nggak bakal nolak siapa pun yang kutawarkan! Ya, kan? Dan aku dah meyakinkan ke Rahma bahwa kamu itu serius. Dah sekarang kamu tak bisa mengelak dari takdir!”

“Tapi...” aku tersedak tak bisa melanjutkan obrolan.

Hanya kudengar suara tawanya yang sungguh menyebalkan. Lantas, tut...tut...tut... obrolan pun terputus.

“Ayaaaah...!” teriak Rakai dari beranda depan, yang seketika menghentikan arus lamunanku.

Hmmm... ketiga sosok dalam foto itulah takdir yang 16 tahun silam aku tak bisa mengelak.

Keluarga Kafha

***

“Dah sampai mana?” tanya Rahma di ujung telepon genggamnya, di Petanahan, Kebumen.

“Karanganyar.” jawabku singkat.

“Kebablasan itu! Kalian harus balik! Gimana sih Kamu!” suara ketus Rahma, sungguh jelas banget mengiang di telingaku.

“Iya ya maaf!” 

Tanpa pikir panjang, aku suruh pak sopir untuk memutar balik. Kulirik jam tangan sudah menunjuk angka 09.45, artinya telat empat puluh lima menit dari jadwal yang disiarkan di undangan. Aku terbayang Rahma, yang anggun memakai make-up tebal cerah, tapi gundah menunggu kedatanganku. 

Pukul 09.00 adalah waktu yang tersepakati oleh keluarga besarku dan keluarga Rahma untuk melangsungkan janji pernikahan. Baru kemudian, mulai pukul 10.00 hingga pukul 13.00 adalah walimah urusy atau perjamuan pernikahan dengan para tamu undangan, kawan-kawan, saudara karib, dan para handai tolan yang rata-rata datang dari rantauan.

Namun, kini telah mendekati pukul 10.00. Dan aku beserta rombongan lain di mobil yang berbeda dan dua mini bus yang mengekor di belakang masih dalam perjalanan. Aku dan dua karib serta adik kandungku jalan paling depan, diasumsikan sebagai penunjuk jalan, tapi justru kebablasan. Busyet.    

“Lo kok sampai nggak hafal jalan ta, Mas?” tanya mas sopir di sebelahku.

“Baru sekali ke sini sih, Mas, pas lamaran. Jadi dua kali ini.”

“Lah kan sudah kubilang, mestinya kemarin Kamu ke sini!” timpal Didi yang duduk di belakangku.

“Aslinya niat nikah nggak sih kamu?” umpat Elly, di sebelah Didi, yang membuatku tercekat membisu. Sepanjang perjalanan sejak keluar dari Sala, ia uring-uringan menyalahkanku. Ia menganggap aku tak serius menjalani proses pernikahan ini.

Hmmm, baik Didi maupun Elly memang patut jengkel. Sebab kedua sahabat karib itulah yang sedari awal ribet menyiapkan mahar dan segala pernak-pernik akad nikahku dengan Rahma.  Mereka yang meminjamkan jas dan peci. Membungkuskan maskawin, dan sebagainya.

Sepintas lalu, aku terbayang kembali wajah khawatir Rahma, yang menanti kehadiranku. Ia harus menepis rasa gundahnya di hadapan petugas KUA, yang juga telah menunggu lama, dan para tetangga serta undangan yang satu demi satu mulai memadati halaman rumahnya. 

Ah, Rahma! Aku mengenalnya, meski tak akrab, dalam satu komunitas mahasiswa se-Semarang. Ia kuliah di IAIN (sekarang UIN) Walisongo. Aku di Undip. Memang, selama kami dalam kelompok diskusi mahasiswa, aku hanya pemain figuran. Lebih sering bercanda dengan kawan-kawan nasakom (nasib satu koma alias goblok bin geblek) di belakang layar. Sedangkan Rahma, adalah sosok senior yang akademis plus aktivis. Ia kerap jadi narasumber atau memoderatori acara. 

Aku acap memperhatikannya, lagi-lagi sambil lalu saja, karena ia berbeda dengan teman-teman perempuan yang lain. Ia tampil dengan wajah asli tanpa make-up. Bahkan aku kerap berceloteh pada kawan-kawan senasib, sesama kaum belakang layar, bahwa perempuan yang sebagian besar hidupnya dilewatkan tanpa lumuran kosmetik itu adalah tipe ideal. Dan ternyata, dan sungguh tak sedikit pun aku membayangkan, Rahma bakal jodohku.

Tepat pukul sepuluh lebih lima menit, mobil berhenti di halaman rumah yang telah ramai oleh pengunjung pesta walimahan. Hatiku berdegup kencang. Elly menenangkanku seraya menyisir rambut dan mematutkan peci di kepalaku. Dan di halaman rumah itu, benar-benar telah padat tamu undangan. Serta seolah semua mata mengawasi kami, persisnya ke arahku. Dan, pastinya Rahma turut serta mengawasi dari dalam rumah. Ada rasa gemetar di tanganku saat membuka pintu mobil. 

“Ayo cepat!” bentak Elly, mulai tak sabar.

“Tarik napas dulu! Kasihan mbak Rahma kalau melihat dirimu pucat begitu.” kata Didi, mengambil alih menenangkan aku.

Kakiku pun ternyata turut menyertai perasaanku yang tak keruan, tak kuasa menginjak tanah Petanahan. Sesaat aku hanya berdiri di sebelah mobil. Sementara suara mengalun dari arah rumah itu, telah mengalun tembang Jawa.  “Belum juga ijab kabul.” Batinku. 

***

“Gimana semalam?”, tanya Shanis saat itu kepadaku, ketika kami—aku, Rahma, Didi, Elly, Shanis, Iwan, dan Lely—menghirup udara pagi di Pantai Petanahan, Kebumen. Shanis adalah satu dari lima sahabat karibku yang turut menginap di rumah baruku di Kebumen usai ijab kabul. Ia asli Kebumen.

“Tak elok kalau kuceritakan kan, Nis.” sahut Rahma. Dan aku manggut-manggut sembari menyeringai gemas pada Shanis. Kayak begitu kenapa mesti ia tanyakan. Ah, dasar! Dan aku juga tak habis pikir, kenapa pula meminta mereka untuk menginap ya, sehingga malam seusai akad nikah pun sama sekali tak berkesan, selain hanya bercengkerama dengan kawan-kawan. Tak lebih. Detik kemudian, Shanis bergabung dengan yang lain, meninggalkan aku dan Rahma dalam keriuhan hati kami masing-masing.

Saat itu masih pagi. Pagi sekali malah. Udara terasa lembab. Begitu dingin menggigilkan sekujur tubuh. Bahkan matahari belum terbit. Kami memang sengaja berangkat ke pantai sebelum terbit matahari. Kami ingin menangkap momen semburat pagi di pantai. 

Di pantai

Aku dan Rahma hanya duduk di pinggir pantai. Shanis dan kawan-kawan yang lain telah membaur dengan atmosfer pantai. Mereka berkejaran seperti layaknya anak-anak. Saling lempar pasir, dan menceburkan diri di air. 

Mataku menatap kosong ke gulungan ombak laut selatan itu. Rahma, yang duduk di sebelahku, pun tampak merenung. Ia diam membisu, memandang ke kaki langit yang temaram. Aku dan Rahma masih kaku banget. Bahkan sekadar bersentuhan tangan pun terasa aneh. Canggung. Aku benar-benar canggung. Dan aku yakin Rahma merasakan hal yang sama. Termasuk kebingungannya harus memanggil apa padaku. “Mas” sebagaimana lazimnya istri pada suami, jelas tak mungkin ia lakukan. Ia sebelumnya memanggilku “Dik”. Teman-teman sadar akan kekikukan kami. Sehingga mereka membiarkan kami hanya untuk duduk di atas pasir. Mereka merelakan kami untuk tak menyertai berlemparan pasir. Menimpuki satu sama lain dalam keriangan yang tak di dapat di Semarang.

Aneh memang. Aku yang biasa mengumbar canda pada siapa saja, tiba-tiba mati kutu di hadapan Rahma. Mulutku seakan terkunci. Padahal sebelumnya, aku telah mengoleksi cerita humor—dan memang aku dikenal oleh kawan-kawan: mempunyai banyak sekali cerita—yang seyogianya bisa kukisahkan kepadanya, tapi o kandas. Babar blas, ra mutu! Tak sepatah pun kata yang keluar dari lisanku. Bahkan sekadar bertanya bagaimana perasaannya setelah sah bersanding denganku, juga tak terbit.

Di kejauhan cakrawala mulai terang. Ada langit yang biru, bersemuka bahkan seolah bertaut dengan samudra selatan, yang juga berwarna biru. Konon indah. Namun, aku mendadak tak menganggapnya bagus. Yang sudah-sudah, apa saja yang kulihat bisa tampak menawan dan jadi bahan cerita, apalagi yang memang penuh pesona, tapi tidak saat itu. Aku mengernyit heran, kenapa sebegitu canggung. Padahal hanya di hadapan seorang Rahma. 

Kukira Rahma juga seperasaan dengan aku. Ia terkepung perasaan kikuk, bingung, dan serba salah tak jelas. Tapi, eh, bagaimana aku bisa tahu persis perasaannya? He he he....

***

Sore ini aku masih terduduk di teras, menunggu istri dan anak-anak berkemas. Ya, sore ini kami berencana ke Sragen.

Dan, teras mungil ini. Juga rumah kecil ini. Memang rumahku ini kecil. Hanya tipe 29, atau 6 X 5 meter dikurangi setengah kali tiga meter buat ceruk jendela dan pintu rumah. Namun, di sinilah aku bisa merebahkan tubuh dengan nyaman. Juga istriku, ia dapat memejamkan mata tanpa harus terteror oleh tempias dan genting bocor.  

Di sini pula, percakapan demi percakapan dan acap pula pertengkaran dengan kekasih hatiku, Rahma, berlangsung. Peristiwa-peristiwa, baik menyenangkan maupun yang menyebalkan sungguh membekas dalam benakku. Segalanya datang, lantas meninggalkan jejak kesan, kenangan. Ya, paling tidak menapaki hidup di Ungaran adalah pilihan untuk berjarak tempat dengan rumah orangtua, baik bapak-ibuku di Sragen maupun rama-biyung Rahma di Kebumen. Aku terbebas dari celetukan bapakku,  juga keluarga besar di Kebumen bahwa “kamu harus jadi orang!” 

“Kamu harus jadi orang!” ya, itulah yang kerap keluar dari lisan bapak di Sragen. Dari paman, dan bibi pula.

“Tentu dong, Bik, suamiku ini jelas sekali bukan coro!” bela Rahma, suatu kali menimpali celotehan Bibi Warni, adik kandung ibu (biyung) mertuaku. Celotehan “jadi orang” bagiku adalah teror. Karena yang mereka maksudkan adalah uang banyak. Aku berpenghasilan besar. Punya rumah besar dan bertingkat. Mobil minimal dua. Tanah di mana-mana. Bisa menggaji karyawan. Dan seterusnya. Dan lain sebagainya.

Aku dan istri

Syukur alhamdulillah, istriku jenis manusia yang tak kemaruk harta. Meski aku ingat banget, duluuu sekali, 16 tahun silam, saat ijab kabul aku gemetaran untuk bersentuhan dengannya. Bahkan nyaris batal mengikrarkan janji menikah, lantaran kebablasan. Aku telat sejam lebih, dan pegawai KUA telah meninggalkan tempat, kembali ke kantornya.

Sebetulnya Rahma menyukai idiom “jadi orang” itu. Namun ia maksudkan, aku jadi orang terhormat, yang berbudi pekerti. Bukan soal kekayaan duniawi. Sehingga jelas sekali aku tersanjung oleh harapannya, berbeda dengan dambaan keluarga besar yang ribet dengan segala rupa penampilan wah.

Kini, aku masih duduk tertegun di teras, memandangi arakan awan putih sehabis hujan. Dan saat begini ini aku tak bisa membendung kenangan kala berboncengan sepeda motor dengan Rahma dari Kebumen menuju Ungaran. Benar-benar mengasyikkan. Kami kehujanan. Dan tak membawa jas hujan. Kami terobos deras hujan dan genangan air dengan penuh suka ria. Maklum baru seminggu berikrar di depan penghulu. Meski, sekali lagi keluarga besar melepas kepergian kami dengan menancapkan pesan ke pundakku “kamu harus jadi orang!”

“Gimana?” 

“Terus!” sahut Rahma setengah berteriak setengah berbisik di telingaku. Ia menggamit pinggangku. 

“Ngebut ya?”

“Siapa takut!”

Aku tekan gas sepeda motor, dan kuda besi itu pun melaju kencang di Jalan Purworejo-Magelang. Kami terus mengebut, susul-menyusul dengan pengguna jalan yang lain. Basah kuyup. Ya, bagaimana lagi! Asyiklah, pokoknya. Sepanjang perjalanan, aku dan Rahma saling mengenangkan kekonyolan kami masing-masing. Lantas kami terpingkal-pingkal, dan Rahma kian mengencangkan pegangan tangannya ke pinggangku. 

Aku terus melenggang tanpa hambatan, seolah penguasa jalan raya. Guyuran hujan dan cipratan air genangan ke sekujur tubuh tak kami anggap. Termasuk bunyi klakson bus yang sepertinya terganggu ulah kami, hanya kami tanggapi dengan klakson balik dan lambaian tangan kiri Rahma.  

“Jadi orang ya!” suara lembut Rahma, sembari memijiti punggungku.

“Okeeeeee... siaaap!”

Ungaran, 19/11/2021

Baca juga: Rahma

Post a Comment

4 Comments

  1. suwun gusti...telah menghadirkan kisah kisah indah melalui beliau @ardikafha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaamiiin...maturnuwun Gusti, Njenengan sampun paring rencang kados Dik Yoko...

      Delete
  2. Asyikkkk.... dan teruslah menulis mas

    ReplyDelete