Maha Mengawasi

 Potret Kali Paingan, Pekalongan

Tak secuil pun tebersit untuk mengutuk waktu. Bagaimanapun setiap menit, setiap saat, adalah suci. Tiada waktu yang tak suci. Yang tak suci itu sikap kita atas waktu, bukan sang waktu.

Menanggapi hari Senin, misalnya. Senin dari kata al-isnain, bahasa Arab, yang artinya dua. Jadi, sebetulnya hari Senin itu adalah hari kedua. Cuma dalam tradisi modern sebagai hari pertama. Senin sama dengan menempuh hari pertama. Hari yang acap kali menakutkan. Mendadak tegang. Kita masih malas-malasan. 

Senin adalah hari pertama masuk kerja, usai sehari atau dua hari sebelumnya menikmati liburan. Senin terasa horor, ada semacam lompatan dari cita rasa manusia yang betul-betul manusia memasuki ke segala sesuatu yang duniawi.

Sabtu, dan Minggu, adalah weekend, hari keluarga. Saat penuh canda tawa bebas tanpa tuntutan dan menuntut. Dan, kebanyakan kita akan mengoptimalkan satu atau dua hari itu dengan memanusiawikan diri. 

Namun, sontak rasa manusia menguap, begitu detak memasuki senja di hari Minggu. Berasa sekali bahwa esoknya, tidak lagi sebagai manusia utuh, tapi menjelma jadi mesin yang serba tepat waktu, serba efisien, dan serba penuh tata aturan.

Senin itu dua. Dua adalah simbol berpasangan, yang merupakan ciri berdunia. Ada siang, ada malam. Ada laki-laki, ada perempuan, dan seterusnya, dan sebagainya. Senin menerbitkan perasaan subordinat mesin raksasa kapitalisme. 

Saya bayangkan rona muka gugup orang-orang memasuki gerbang perusahaan, gerbang pabrik, gerbang kantoran. Senin benar-benar menenggelamkan sang aku diri. Karl Marx menyebutnya alienasi, keterasingan. Asing dengan dirinya sendiri, hingga tak mengenali kebutuhan dasarnya. Asing, lantaran kudu berperan sebagai yang lain, demi, dan demi, serta terus saja demi. Dan kondisi demikian akan terus menjadi-jadi, sekira kita jauh dari sentuhan spiritual. Saban hari hanya berkutat dengan materi, sebuah dunia milik yang serba duniawi, yang sama sekali jauh dari sapaan dunia diri. 

Orientasi akan dunia milik, rasa ingin memiliki, yang jor-joran, sungguh akan menjauhkan kita dari sentuhan diri. Tak ayal lagi: korupsi, selingkuh para selebritis, perkelahian antargang, perusakan lahan hutan, peralihan petak-petak sawah menjadi wahana wisata, dan seabrek laku pemuasan keinginan jadi santapan tak sedap di pemberitaan pagi kita. 

Namun tetap, namanya saja manusia yang tersusun atas dunia indera dan jiwa, lamat-lamat sang subjek rindu menjenguk kedalaman diri, memasuki dunia diri. Menyapa jiwa. Manusia, siapa pun saja, saya kok yakin, tebersit perasaan kangen mengetuk jiwa. Buktinya, majelis-majelis dzikir, atau ramalan-ramalan nasib, hingga soal minat bakat anak, begitu digemari masyarakat perkotaan. Mereka ingin berlepas penat, lari dari kenyataan. Ingin sesaat berelaksasi melupakan gemuruh mesin, kemajuan teknologi, hingga asyik masuk ke ranah mitologi. Orangtua sedemikian merasa nyaman, usai mengetahui bakat anak, seolah masa depan si anak bakal cerah, secerah harapan. 

Dunia paranormal menjamur seiring kecanggihan ilmu pengetahuan. Dunia dukun, menjadi alternatif, selain majelis dzikir, untuk menumpah keluh kesah atas kesumpekan hidup.

Itulah alienasi yang mewabah, akibat dominasi keinginan kepada yang serba materi. Suara nurani yang dari asalnya condong kepada spiritual akhirnya kalah dan menyusut kerdil hingga hati mengeras. Memang, ada kala kerinduan menyapa yang Esa, hadir di majelis dzikir, pengajian, menangisi kesalahan, tetapi hanya sesaat. Karena keadaan kembali memaksa si manusia menenggelamkan diri memasuki dunia milik, mengejar yang tertier dan sekunder seolah kebutuhan primer. Mengejar sarana seakan sebagai tujuan. Cita rasa manusia lenyap. Kemanusiaannya kandas, karena persentuhan dengan dunia milik sedemikian rupa telah meminggirkan Yang Maha Esa. 

Lantaran dominasi ambisi keinginan, dan segenap kepentingan yang tiada berujung, maka lambat laun Tuhan pun menguap dari kesadaran. Tuhan telah mati. Rasa manusiawi meredup. Sebaliknya, sekira nafsu keserakahan dapat dikendalikan, bisa diistirahatkan, niscaya Tuhan hidup. Cita rasa manusiawinya bersinar. Ia menghadapi hidup penuh cinta kasih, rasa syukur, tiada lagi horor. Tidak terteror oleh kebutuhan-kebutuhan material semata. 

Walhasil, tatkala Tuhan luput dari kesadaran, tatkala kita kehilangan takwa—saya memahami takwa sebagaimana ungkap Muhammad Asad adalah God consciousness—kemerosotan moral kian jelas di depan mata. Karena dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan hadir dalam setiap kegiatan, bahwa Tuhan mengetahui, mengawasi, dan akan meminta pertanggungjawaban setiap noktah tindakan, seseorang akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur.

Kita tahu, penyebab kehancuran suatu bangsa adalah berkenaan dengan kemerosotan moral. Maka, tindakan penyelamatan bangsa kita ini, upaya penyelamatan negeri zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, juga berkaitan dengan seberapa serius kita menegakkan moral. Itulah kenapa, tersebut dalam surah al-Hujurat ayat 13: “Sungguh, yang paling mulia di antara kalian dalam pandangan Allah ialah yang paling mendalam kesadarannya akan Dia. Perhatikanlah, Allah Maha Mengetahui, Mahaawas.

Syahdan, kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasar kesadaran ini menjadi kunci kemakhlukan manusia. “Perhatikanlah berlalunya waktu! Sungguh, manusia itu pasti merugikan dirinya sendiri, kecuali dia termasuk orang-orang yang meraih iman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik,” (Al-‘Ashr).

Ya, akhirnya memang begitulah sang waktu. Berjalan atau berlalunya benar-benar tiada pernah dapat kita kendalikan. Kita hanya bisa menumpang kepadanya, kepada si waktu. Dan pula, hanya dengan memupuk kesadaran akan kehadiran-Nya, kita dan semua ini selamat. 

Sepertinya begitu. Kalau tidak, ya, sudahlah, toh tidak rugi sekiranya kita berhati-hati melintasi waktu dari menit ke menit, hari, bulan, dan seterusnya, dengan menajamkan radar: Tuhan Maha Mengawasi.

Ungaran, 21/11/2021

Baca juga: Wajah Tuhan

Post a Comment

10 Comments

  1. Refleksi yang dalam 👍
    Setuju saya. Selalu berbuat baik dan memaknai setiap waktu dengan syukur dan kebaikan itu tak akan pernah membuat kita rugi.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Berasa diingetin bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan. Biar nggak sembarangan bertingkah 🥲

    ReplyDelete
  4. Benar banget, setiap detik waktu kita harus dipertanggungjawabkan pada Allah digunakan untuk apa, apakah hal bermanfaat atau malah maksiat. Jadi seram ingat netijen yang hobi hujat di medsos, apa mereka mengira tak ada balasan untuk jahatnya ketikan jari ya?

    ReplyDelete
  5. Hidup berkesadaran atas kehadiranNya kuncinya ya, pak. Ditambah makna QS Al’Ashr yang nampol banget untuk terus memanfaatkan waktu dengan baik.

    ReplyDelete
  6. Tulisannya itu bikin aku langsung refleksi diri, jadi bertanya ke diri sendiri, sudahkah aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin? Ya ampun, waktu itu emang berharga banget ya

    ReplyDelete
  7. Benar sekali mba, kita sebagai manusia sering lupa bahwa tidak ada satupun yang bisa disembunyikan dari Allah SWT dan segala perbuatan di dunia ini perlu dipertanggung jawabkan di kemudian hari. Terima kasih mba untuk reminder nya

    ReplyDelete
  8. Kok ya bener itu sabtu minggu hari untuk memanusiakan buruh buruh kayak saya hahahahahahaha.... bisa bener deh si mas ini

    ReplyDelete
  9. Masyaallah bener banget ini mbak. Makasih remindernya. Waktu ga bisa kita hentikan, dia bergerak trs kitanya apa kabar hiks...

    ReplyDelete
  10. Artikelnya selalu mengingatkan utk menjadi insan yg lebih baik. Terima kasih pak sdh diingatkan masalah waktu.

    ReplyDelete