Mengejek Diri

Sore di taman

Kemarin Ungaran seharian terguyur hujan. Hawa dingin serasa merontokkan tulang dan bertahan hingga pagi ini. Semalam tidurku pun pulas. Teramat nyaman. Sehingga gaduh tikus yang biasa membangunkanku di setiap dini hari tak berfungsi. Tepat pukul 05.15 aku baru bisa membuka mata, meski masih bergolek di kamar tidur. Itu pun karena dibangunkan Rahma untuk memasang kompor gas. Rada malas-malasan aku ke dapur.

“Mbok yao kamu itu belajar masang sendiri ta!! Jadi nggak tergantung aku terus!”

“Nggak rela aku gantungi?”

“Bukan begitu! Maksudku, sewaktu-waktu aku ke mana gitu, kamu nggak kebingungan.”

“Lah, apa artinya berkeluarga kalau aku harus tetap bekerja sendiri? Apa artinya berjodoh, kalau kita tak bergandengan? Apa pentingnya membangun biduk, kalau tak seiring mengayuh galah? Apa artinya....”

“Cerewet ah, kucium lho! ( Mau...!) Dah terpasang tuh!”

Rahma tersenyum renyah, begitu selang kompor terpasang. Ia bersegera menjerang air yang sudah disiapkan dalam cerek.

“Tahu nggak, aku itu dulu seumuran Isa suka banget berbuat macam-macam untuk mencari perhatian dari banyak orang. Dari mulai mencuri mangga tetangga, memanjat tiang listrik, telepon, atau membuat jengkel anak-anak perempuan. Dan yang mesti kamu tahu, anak-anak cewek itu seumuran tapi luar biasa. Cantik manis, gesit, dan tawa semringah mereka bikin deg-degan. Apalagi yang pura-pura marah, tambah nggemesake tentu. Nah kini aku tobat. Pagi ini, aku hanya usil padamu seorang. Menjahili dikau yang lagi menggoreng tahu isi....”

“Apa sih pagi-pagi dah ngalor-ngidul! Iya aku tahu kamu dulu itu tukang rayu, tapi apes. Tak satu pun yang kecantol! Untung ada aku, sehingga reputasimu terjaga. Hahahaha... Udah ini kopimu! Ini kan yang kamu mau? To the point aja!”

Begitulah, di dapur yang tak luas ini, kami tertawa bareng. Tertawa lepas. Anak-anak masih di bilik mereka. Belum tampak aktivitas yang mereka pamerkan, padahal hari ini adalah Senin. 

Setengah jam kemudian, tercium aroma hidangan pagi yang mengundang selera. Aku lihat nasi putih terhidang dalam mangkuk besar. Sayur bayam dalam panci kecil. Ada bawang goreng di atas piring kecil. Ada pula tempe mendoan dan telur dadar kesukaan anak-anak. Ya, pagi yang menggembirakan.

***

Rahma bersiap berangkat ke sekolah. Ia tak ingin telat dan divonis sebagai guru yang kerap datang telat. Ya, pagi menjadi waktu sibuk buat dia, seusai merampungi urusan dapur, langsung bergegas mandi dan ganti seragam guru.

“Salah sih kamu, masak jadi guru kamu niatkan mengabdi. Pusing kan?”

“Lah terus gimana?”

“Ya biasa saja. Usah muluk-muluk berlagak budiwati. Karena lembaga tempat kamu berkarir itu bukan lembaga pendidikan, melainkan perusahaan sekolah. Dan menurutku belum ada di sini yang murni lembaga pendidikan, yang pengin menanamkan karakter bocah supaya nggenah, tidak pegang gadget, dan gemar wawancara kayak wartawan serta suka banget baca buku sastra tebal.” 

“Menurutmu aku nggak sepatutnya bikin acara narasi di kelas gitu?”

“Ya, silakan saja sih! Cuma emang kamu siap konsekuensinya?  

Rahma pun terdiam di depan cermin almari ini. Jadi mikir berat kayaknya. Ya, mau bagaimana lagi. Memang lembaga sekolah itu belum selayaknya disebut lembaga pendidikan. Jadi menurutku, sedianya dia santai saja, tak usah begitu berobsesi mengabdi sebagai guru teladan, yang tak pernah datang telat, atau berambisi ingin menerapkan metode narasi di kelasnya. Ah, susah amat. 

***

Sore hari, kami bersantai di taman alun-alun Ungaran. Kami hanya bertiga, aku, istri, dan Rakai. Sementara Ahimsa memilih di rumah, suntuk dengan tugas sekolahnya. 

Cuaca cerah, tidak seperti biasa yang acap mendung. Awan mengarak tipis tak sampai menutup biru langit. Rahma duduk di atas papan duduk bersama Rakai. Tampak si bungsu lagi bermanja pada bundanya. Isengku pun kambuh. 

“Wajarlah kalau ‘ke mana pun aku memandang, di situ wajah Laila!’ Ya, karena Majenun dan Laila itu masih berpacaran. Aku sulit membayangkan kalau mereka sudah seperti kita, menikah. Jujur, aku tak bisa lagi bahwa ke mana mata memandang di sanalah wajah kamu! Yang terjadi, mata ini tetap sulit berpaling dari wajah yang uayu, kinclong, apalagi yang grapyak kalau pas diajak ngobrol.”

“O...gitu ya sekarang? Ingat dulu nggak?” timpal Rahma seraya melotot. Rakai sontak duduk, lantaran Rahma berdiri dan berkacak pinggang.

“Nggak!” sahutku dengan mata kosong pura-pura bego. 

Memang, hari-hari paling asyik itu ya mengejek diri di hadapan Rahma. Juga di hadapan anak. He he he ....

Ungaran, 07/11/2021

Baca juga: Ingin punya mobil

Post a Comment

2 Comments

  1. Alhamdulillah..semoga coretan pena ini...selalu menumbuhkan rasa syukur...bahwa disetiap hela nafas ini ada bahagiya dari Mu

    ReplyDelete