Buku dan hutan. Dua hal yang ingin saya akrabkan kepada anak. Sebagai penggila buku dan pencinta alam sekaligus. Perpustakaan keluarga wujudnya. Dan jadwal rutin ke alam terbuka implementasinya.
Perpustakaan kecil di rumah bukan lagi soal mengoleksi buku, melainkan mengobrolkan kedalaman isi pemikiran. Juga rutinan ke alam, baik nature walk maupun nature study tidak sekadar sebagai pengisi waktu luang. Tapi, dengan nature walk, besar harapan rasa takzim pada semua jenis ciptaan Tuhan tertanam. Dengan nature study, kebiasaan mengamati alam sekeliling pun terasah dan mengembang. Dan akhirnya, tidak tinggal diam, bergegas turut serta menjaga bumi. Menunda datangnya kiamat.Betapa kini, di mana-mana area hutan berkurang, dan terus berkurang. Lahan hijau mengecil beralih menjadi deretan perumahan, menjadi kawasan pertokoan, supermarket. Padahal konon, orang memandang hutan sebagai bagian dari dirinya. Ada kesatuan kosmologis antara tempat hunian, ladang, kuburan, dan hutan. Hutan dijaga benar.
Namun, seiring meledaknya populasi manusia, berkurang pula area hutan. Terlebih kemudian, perasaan sebagai satu bagian dari hutan menguap, pelan-pelan hutan pun hancur. Dan kian hancur sebab serakah manusia yang tiada ujung.
Dari situlah, saya pandang perlu untuk menghadirkan penghayatan terhadap hutan, juga buku, kepada anak. Perlu mengingatkan fungsi ekologis sedari kecil. Meski, lagi-lagi karena kehancuran hutan oleh ambisi serakah, terutama oleh para pemodal raksasa, telah menyulitkan kami menemu alam hijau. Tinggal perkebunan pala dan pinus di sekitar Ungaran.
Nah, suatu waktu, Kamis 6 September 2018, saya ajak Rakai menikmati perkebunan pala, di Desa Gebugan, Bergas. Bukan hutan sungguhan, memang, tapi lumayan buat refleksi tentang alam bebas. Bukan sekadar udara segar yang terbebas dari segala rupa teror asap kendaraan bermesin. Melainkan orangtua dan anak, saling membebaskan untuk berakrab dengan bebijian, bebungaan, pepohonan, bahkan kontur tanah dan bebatuan.
Di tengah alam terbuka itu, kawasan perkebunan pala, akhirnya kami mengenal lebih dekat buah dan biji pala. Tentang membelah buah yang lebih gampang, untuk mendapat dan tak merusak biji. Tentang usia pohon pala, yang ternyata telah mencapai puluhan bahkan ratusan tahun.
Ya, sebelum republik ini berdaulat di mata dunia, ternyata pohon pala telah mendiami tanah di Desa Gogik dan Gebugan, Kecamatan Ungaran Barat dan Bergas. Pohon-pohon pala yang kami akrabi saat itu, yang tumbuh rimbun dengan ketinggian rata-rata 10 hingga 20 meter, di Desa Gebugan, telah berusia 50-an tahun. Banyak percabangan yang hampir mendatar dan rendah, sehingga menjadi sasaran asyik Rakai berlatih memanjat. Sementara pepohonan pala yang tumbuh subur di Desa Gogik, bahkan telah mencapai usia 100 tahun lebih.
Dari sana pula, saya takjub, saya kira siapa pun juga akan seperasaan, tatkala menyaksikan seorang ibu paruh baya, buruh pemetik buah pala, sedemikian gesit memanjat pohon pala. Dengan bantuan selendang, ia beranjak memanjat untuk menjangkau dahan demi dahan. Ia memetik puluhan buah pala yang tak terjangkau tangan dengan sebuah galah. Rakai berlarian memunguti. Kemudian, seusai atraksi itu, kami mengamati, juga dengan perasaan takjub, sang ibu mengupas buah pala. Ia tampak cekatan memisahkan biji pala dengan daging buahnya.
Satu lagi yang masih mengiang di benak saya sampai hari ini, ternyata pohon pala itu ada yang berjenis kelamin jantan dan betina. Pala betina, ukuran daunnya agak besar dan lebar. Sedangkan pala jantan, daun terlihat lebih langsing. Persis manusia kan? Bahwa laki-laki cenderung langsing, kecuali yang subur.
Benar-benar saat itu, tambahan kontur tanah yang tak rata, membuat tubuh kami sungguh termanjakan, apalagi di bawah rindang pepohonan. Sejenak, seusai mengamati pala, kami duduk-duduk santai. Tapi Rakai tak betah lama duduk, ia kembali memanjati dahan pala yang menjuntai rendah.
Waktu pun bergulir. Matahari mulai menandai pertengahan hari. Teriknya memanaskan setapak yang kami lintasi. Namun, peluh tak kunjung mengucur dari wajah dan punggung kami. Artinya, tiupan angin sepoi-sepoi dari rerimbun pohon pala itu telah mengusir rasa lelah kami. Kami tak disergap kegerahan seperti halnya melintasi trotoar Simpang Lima Semarang. Kami juga melenggang dengan nyaman, terbebas dari serbuan keringat yang berleleran di sekujur tubuh.
Begitulah, alam sedemikian meninabobokan kami. Perkebunan semi hutan itu telah mengalirkan air segar ke tenggorokan. Menghapus dahaga. Sekaligus menerbitkan decak tak terkira kepada Tuhan. Sekali lagi, benak saya, dan semoga pula Rakai, terlegakan dengan ritual nature walk. Berolahraga gratis jelang siang hari di alam terbuka.
Ya, buku dan hutan. Dua hal yang ingin saya akrabkan kepada anak. Sebagai penggila buku, sebagai pencinta alam. Bukan pencandu gawai.
Ungaran, 20/12/2021
Baca juga: Hijrah dan Buku beserta Alam
2 Comments
Beberapa bulan yl saya mempelajari rempah dan sejarahnya, di antaranya pala dari Pulau Banda. Ada satu novel bagus, berjudul Mirah dari Banda (Hanna Rambe, Yayasan Obor Indonesia, 1986), yg bikin saya tahu sekaligus penasaran dgn rempah ini. Sampai beli manisan buah pala biar ngerti rasanya..
ReplyDeleteEh sekarang jadi tahu kalau pala juga ada di Ungaran. Nah kalau kisah di atas adalah pengalaman mengajak Rakai jalan2 tahun 2018, apa kabar pala Desa Gogik dan Gebugan setelah 3 tahun?
Kabar pala di kedua desa itu masih baik-baik saja sih... Masih tetap lebat, masih sebagai hutan yang layak kunjung
Delete