Tawaran Penting

Pesan Kearifan Pak Muh

Pesan Kearifan Pak Muh (7)

Semua kita maklum. Semua kita mengerti, bahwa perbedaan pendapat itu rahmat. Maka, Pak Muh, dalam kisah Ubaid, mengingatkan, al-Quran diturunkan kepada kaum beriman seirama dengan diturunkannya air hujan bagi tetumbuhan.

Bahwa setiap pohon dapat memanfaatkan air menurut kebutuhan disiplin-nilai yang diamanatkan Allah kepadanya. Bahwa setiap pohon berkesempatan menjadi diri sendiri dalam berperan di tengah kebersamaan hidup.

Dengan rona serius si Ubaid menjelaskan betapa mustahil bila semua jenis pohon dituntut memproduk rasa pedas sebagaimana lombok, misalnya. Demikian juga kaum beriman dalam menangkap makna kitab suci, tidaklah seragam. 

Ada yang baru berangkat mengenal huruf-huruf al-Quran. Ada yang tertarik mengkaji hukum-hukum dan budayanya. Ada pula yang menikmati karya filosofis dan sufistiknya. Dan, masing-masing butuh lingkungan, referensi serta narasumber yang memadai.

Begitulah adanya. Islam sedari awal tak bermaksud mencetak pengikutnya menjadi sekawanan domba yang berselera sama. Rasulullah Saw. tatkala meresapkan ajaran ke diri Abu Bakar, lahirlah ash-Shidiq. Saat ditanam di Umar bin Khattab tumbuh al-Faruq. Pada diri Utsman bin Affan terbit dzun-Nurain dan kepada Ali bin Abi Thalib muncul al-Murtadla.

Benar-benar umat Islam tak dikehendaki menjadi domba-domba yang digembalakan. Namun, setiap diri hanya akan dibawa oleh perbuatan takwanya sendiri di tengah lingkungan. Setiap diri akan berperan secara unik yang tiada kembaran, tiada duplikat. 

Dari situlah, betapa ajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. memuat sarana yang memungkinkan tumbuh dan sempurnanya berbagai tipe individu. Dan Ubaid, tokoh rekaan Pak Muh dalam Lantai-Lantai Kota, merasa malu melihat kenyataan kaum muslim yang kurang utuh. Dalam hati ia berjanji tidak akan bersikap seperti tahun-tahun yang sudah. Ia siap memikul duka bersama. 

Ubaid memaparkan teknis, pertama, mesti membaur dengan lingkungan dalam mencari rezeki dan mentaati aturannya. Niscaya kita menemukan diri di antara mereka. Bila merasa berkondisi baik, bersyukur. Bila sebaliknya, bertaubat.

Kedua, membaur dengan lingkungan dalam menambah ilmu dan mengikuti disiplinnya. Bila yang tampak pada mereka adalah kesalahan, kita layak berselempang cahaya matahari. Kita terangi mereka saat memecahkan persoalan.

Ketiga, membaur dengan lingkungan dalam menjaga batas perbuatan. Bila kita diterima dengan senyuman, tanda wajah kita telah rembulan. Maka, sinari mereka supaya selamat dari kegelapan.

Keempat, membaur dalam mengangkat beban bersama. Bila kita banyak dibutuhkan, mawarlah wujud kita, maka sebarkan aroma ke cakrawala.

Kelima, membaur dengan yang lain dalam menyempurnakan diri. Bila kita sudah tak mampu membedakan siapa yang berdiri di depan kita dan tak teringat di mana tempat tegak kita, berarti kita tengah bersama Sang Waktu. Maka, hidupi mereka. 

Nah, dalam menunaikan semua itu, buka mata, telinga dan hati lebar-lebar. Kita akan menemu wujud diri yang sebenarnya, tanpa harus terganggu oleh yang sudah dan yang belum.

“Yang demikian itulah, saat bersama-Nya kapan dan di mana saja,” terang Ubaid.

“Saat sendirian aku bersama Allah dalam renungan dan shalat. Saat membaur dalam masyarakat aku bersama-Nya dalam hubungan dialogis. Yang pertama untuk menggapai surgaku di akhirat, dan yang kedua untuk menikmati surgaku di dunia.     

“Surga dunia itu ada dalam dunia milik, dan surga akhirat ada di dunia diri. Oleh karena diri kita lebih dahulu ada, sebelum datang semua yang kita miliki, maka seharusnya kita lebih dulu mengenal surga akhirat dari pada surga dunia.

“Yang disebut ‘diri’ itu tidak muncul dengan sendirinya atau datang secara kebetulan. Keluarbiasaan ‘manusia’, mengandaikan ia hadir dari yang Maha Luar Biasa. Dan tanggungjawabnya yang besar terhadap diri dan lingkungan, membuktikan bahwa ia datang dari yang Maha Bertanggungjawab. Yang Maha Luar Biasa dan Maha Bertanggungjawab itulah yang disebut Tuhan. Keselarasan diri kita dengan-Nya, menandakan kita telah berhasil menemukan-Nya dalam hidup, atau telah bersama Allah di mana dan kapan saja.” 

Demikian. Betapa tak gampang, memang. Apalagi kalau kita belum menghayati kenyataan sebagai medan tajalli Tuhan, sebagai Wajah Tuhan. Betapa menatap kenyataan itu kemudian tidaklah cukup dengan mata dan telinga, tapi juga mesti melibatkan hati.

Maksudnya, tidak sekadar mendapatkan pengetahuan dari yang kita lihat dan dengar. Namun, juga mampu menanggapi tawaran Tuhan yang tak terhitung itu. Tapi yang terpenting tawaran: salah-benar dan baik-buruk. 

Salah-benar itu masalah tujuan. Baik-buruk itu soal cara. Bila tujuan hidup benar, cara mengungkapkan juga harus baik. Maka, kenyataan akan mendidik kita yang selalu berpatokan kepada tujuan yang benar, tapi juga akan menyesatkan jika salah kiblat,

Nah, al-Quran meringkaskan tawaran terpenting itu, yang lagi-lagi diturunkan kepada kaum beriman seirama dengan diturunkannya air hujan bagi tetumbuhan. 

Ungaran, 15/01/2022

Baca juga: Karya Masterpiece

Post a Comment

0 Comments