Pintu Damai pun Terbuka

Suasana ngaji Hikam di Semarang

Puasa #7

“Ada dua kenikmatan,” ungkap Gus Sholah, dalam Ngaji Hikam di kediamannya, “Pertama, nikmat diwujudkan. Kedua, nikmat lantaran selalu dalam penjagaan Allah.”

Sang Gus menjelaskan, kenikmatan yang pertama itu menghilangkan ketiadaan yang lalu, sementara yang kedua, menghilangkan ketiadaan yang akan datang. Artinya, berkat kedua nikmat tersebut, sedianya kita tidak berlepas dari Allah, walau hanya dalam sekedipan mata.

Berkat nikmat penciptaan, kita dimunculkan dari alam gaib menuju alam nyata, atau dari alam perintah menjadi alam makhluk. Tanpa nikmat ini, niscaya kita tetap tidak ada. Dan, karena nikmat penciptaanlah, kita berharga. 

Selanjutnya, berkat nikmat pelestarian, Allah memelihara kita atas segala sesuatu seusai penciptaan dan memberi kita sesuatu supaya bisa tegak. Allah melestarikan eksistensi kita dengan perlindungan-Nya dari segala bahaya. Allah menjaga kita dari ketiadaan dengan wujud yang berkesinambungan.

Begitulah, betapa penentu eksistensi kita itu Allah. Dan kemungkinan-kemungkinan kita nanti pun juga karena Allah. Kita mengada lantaran Dia, dan seterusnya kita tak pernah lepas dari penjagaan-Nya.

Sungguh, nikmat apa lagi yang kita cari? Allah memberi nikmat penciptaan, menyertakan kasih sayang-Nya, sehingga kehadiran kita di muka bumi ini pun sempurna dan berlimpah kelebihan dibanding makhluk-Nya yang lain. Benar-benar, keberadaan kita dibanding sesama hamba-Nya, manusialah sebaik-baik ciptaan. Tidak hanya nikmat raga, sebagaimana hamba Allah yang lain, kita beroleh nikmat roh, anugerah amanat, yang hanya kita manusia yang memperolehnya. 

Kemudian Allah menganugerahi nikmat pelestarian, baik indrawi maupun maknawi. Nikmat indrawi adalah segala sesuatu yang materi sejak kemunculan manusia hingga kematiannya. Sedang nikmat maknawi adalah makanan jiwa, yakni keyakinan, ilmu, makrifat, dan rahasia-rahasia (ilahiah).

Nikmat indrawi berupa makan dan minum, penutup aurat dan tempat berbaring yang nyaman, yang bisa kita pungut dari proses budaya dan proses alam. Dan untuk memungutnya, kita cukup dengan mendayagunakan akal pikiran, perasaan, dan indra. Suatu instrumen yang lebih dahulu ditanam Allah dalam diri kita, bukan kita yang mengadakan. 

Pun demikian nikmat maknawi, yakni Allah memperkenalkan Diri-Nya, sehingga kita mengenal-Nya. Dia menyingkapkan Diri-Nya, sehingga kita menyaksikan-Nya. Maka, rohani ini pun tak mengidap busung lapar, oleh sebab penyingkapan nilai-nilai spiritual di balik yang ada, di balik musibah, di balik derita, di balik suka, dan seterusnya. Singkatnya, asupan-asupan rohani itu adalah pencerahan kesadaran menghamba kepada Allah.

Sehingga jelas, betapa Allah teramat sayang kepada kita. Dia tiada henti menjaga kesadaran penghambaan itu. Dia menghadirkan sakit, musibah, mendatangkan virus, rasa lapar, dan sebagainya dan seterusnya itu dalam rangka merawat rasa butuh kita kepada-Nya.

“Butuh kepada Allah adalah sifat asli manusia.” terang Gus Sholah. 

Gus Sholah mewanti-wanti, sebagaimana hikmah dari Syekh Ibnu Athaillah, seyogianya perasaan selalu butuh Allah itu maujud dalam diri dalam setiap waktu, pada setiap detik. “Jangan sampai atau hanya menunggu saat datang musibah!”

Mengingat, kebanyakan kita tidak menyadari hakikat diri, terutama tatkala tengah diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Baru kemudian, setelah Allah menurunkan “sebab-sebab ketergantungan kepada-Nya” berupa penyakit, rasa lapar, dan musibah-musibah lainnya, kita sadar dan merengek minta ampun. Kita penuhi hak-hak penghambaan kepada-Nya, kita berdoa sepenuh hati.

Sehingga, yang benar-benar mesti kita kejar itu sebetulnya bukan lagi kenikmatan material, melainkan kenikmatan rohani, rasa butuh Allah. Sehingga pula, betapa beruntung kita jika sedari dini telah bisa bersaksi, bisa bersyahadat, bahwa Allah segalanya. Karena toh nyata-nyata, memang penentu segala sesuatu itu tiada lain hanyalah Allah. 

Maka, tidak aneh sekiranya para kekasih Allah itu enteng saja menyikapi kehidupan. Mereka sudah dingin, hati membeku, melihat hidup seolah tidak ada masalah. Datangnya “derita”, seperti sakit atau yang lain, justru disikapi sebagai hari raya. Bahwa sesungguhnya, di mata para kekasih itu, tiada tempat dan saat yang nyaman, selain sapaan Allah. “Waktu terbaik tatkala mengembalikan kefakiran kita, bahwa hanya Allah segalanya. Sebaliknya, waktu terjelek manakala kita sudah tidak butuh Allah.”

Para kekasih itu telah menyaksikan bahwa “ketergantungan kepada Allah” adalah substansi hidup manusia, yang tak akan tergantikan oleh apa dan siapa pun. Entah sehat, entah sakit, entah berkuasa, dan entah apa pun, itu semua nisbi. Yang sungguh-sungguh nyata hanyalah Allah, dan kita bergantung kepada-Nya sepanjang hayat.  

Para pionir jiwa itu telah sanggup melihat segala sesuatu yang lazim menakjubkan, buat awam, sebagai hal yang biasa. Tidak ada lagi sebab-sebab istimewa, selain Allah. Akhirnya, merekalah wujud, “ketika Allah membuatmu putus asa kepada yang selain Allah, maka ketahuilah bahwa Dia telah membukakan pintu kedamaian bersama-Nya.” 

Demikian, Wa Allah A’lam.

Ungaran, 09/04/2022

Baca juga: Menghikmahi Keadaan

Post a Comment

2 Comments

  1. Joss's. Ngepasi haul Mbah Hasyim Asy'Ari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya to, malah nggak ngerti kalau sekarang haul mbah Hadratusyaikh

      Delete