Puasa #26
Seperti apa rupa Allah itu? Atau Allah itu apa atau siapa? Kalau dikatakan Dia mutlak dan kita nisbi, kenapa kita harus mengidekan suatu dzat yang mutlak? Nah, saya mengadaptasi dari yang dituturkan Muhammad Zuhri dalam suatu ceramahnya.
Adalah Dewi Wardah, istri Sunan Giri, pengin meningkatkan diri dari tangga hakikat ke makrifat, memohon pada sang suami, “Duh, Kanjeng Sunan! Umur saya sudah 40 tahun, sudah saatnya diajar untuk mengenal Allah, maka siapakah sesungguhnya Allah itu?”“Wahai, Nini, ambillah daun talas di kebun!” pinta Sunan Giri. “Kemudian teteskan setetes air di atasnya, terus bawa ke sini, kan kutunjukkan rupa Allah!”
Setelah mendapati daun talas dari kebun dan meneteskan setetes air di atas permukaannya, Dewi Wardah menyerahkan daun itu ke suami. Kemudian Sunan Giri menggandeng sang istri ke luar rumah. Mereka berada di halaman rumah di tengah terik matahari.
“Coba pegang daun ini, Nini! Jaga keseimbangannya agar tetes airnya tidak menggelinding jatuh!”
Penuh takzim Dewi Wardah memegang daun talas itu. Kemudian sang sunan berujar, “Perhatikan hijau daun talas ini, Nini! Inilah perumpamaan fisikmu, pasemoning ragamu.”
“Terus perhatikan tetes air ini, yang bergerak-gerak ini! Inilah perumpamaan dirimu, aku-mu, sariranira.” sambung Sunan Giri.
Dewi Wardah mengangguk paham.
Sunan Giri melanjutkan, “Lihat titik putih dalam tetes air ini, Nini, yang tak lain adalah bayangan matahari di atas itu! Inilah perumpamaan Allah.”
Dewi Wardah masih termangu, antara paham tak paham dengan perumpamaan yang terakhir itu. Sunan Giri dengan lembut dan sabar menggiring kesadaran makrifat Dewi Wardah. “Nini, coba perhatikan dengan teliti, samakah matahari kecil dalam tetes air ini dengan matahari yang di sana itu?”
“Sama, Kanjeng Sunan, sama putihnya, sama menyilaukannya walau sedikit.”
“Sama ya?” tanya Sunan Giri.
“Ya, sama.”
“Kalau begitu, Nini, ambil matahari kecil ini! Keluarkan ia dari dalam tetes air!”
“Ya nggak bisa ta, Kanjeng. Lha wong ini cuma bayangan, yang aslinya kan jauh di atas sana.”
“Seperti itulah kehadiran Allah dalam diri manusia, Nini. Sehingga manusia bisa tahu bahwa Allah itu ada, karena Dia berkenan mengenalkan diri-Nya. Maka, Nini pun bakal mengetahui-Nya, tapi bukan dengan akal pikiran. Mengetahui Allah itu lewat sang sadar yang tampil dari bening jiwa.”
“Nini masih bingung, Kanjeng Sunan.” lirih Dewi Wardah.
Sunan Giri tersenyum. “Begini, Nini, daun talas dan tetes air ini sampai kiamat memang tidak bakal memahami kehadiran matahari kecil, dan juga tidak mengenal matahari besar yang di sana itu. Sebab yang mengetahui matahari besar itu ada, ya, si matahari kecil ini sendiri. Bahwa sinar matahari dari sana itu menerpa tetes air, dan refleksi dari matahari kecil ini pun kembali ke sana.
“Kehadiran matahari kecil di dalam tetes air ini seperti penampakan, sehingga baik matahari besar yang jauh di sana itu maupun matahari kecil di dalam tetes air ini sama-sama tak teraih. Kita tak bisa memegangnya, tak bisa memindahkan ke tempat lain. Seperti itu pula Allah menampakkan diri pada manusia. Hanya yang berkesadaran jernih yang sanggup menampung bayangan Allah secara sempurna."
Demikian Sunan Giri mewejang istrinya. Bahwa putih-putih kecil dalam tetes air itu adalah roh yang ditiupkan Allah dalam raga manusia, yang hakikatnya tak menempati ruang di tubuh manusia. Dia tidak berada di kepala, tangan, atau anggota tubuh lainnya. Sebab roh tak bertempat tinggal, tidak berhubungan, dan tidak bersatu padu dengan tubuh.
Roh itu di luar ruang dan waktu, sementara fisik kita di dalam ruang dan waktu. Namun roh yang di luar ruang dan waktu itu menyatakan diri di dalam ruang dan waktu dengan medium raga kita. Sebagaimana digambarkan sebagai bayangan matahari kecil yang tampil dalam tetes air di daun talas. Bayangkan, sekiranya air yang menetes di atas daun itu air comberan, misalnya, atau air yang kotor, maka matahari kecil di dalamnya juga tak bersinar terang.
Maka, sebagai medium tempat sang roh menyatakan kekuasaan dan kehendaknya, sedianya kita jernihkan air kesadaran diri kita ini. Karena sekali lagi, daun talas dan tetes air itu tidak akan mengenal matahari. Bahwa tidak satu pun manusia mengetahui Tuhan. Namun para nabi dan kekasih-Nya percaya Allah karena Dialah yang menyatakan diri di depan kesadaran mereka.
Kemudian, sebagaimana dalam penciptaan alam fisikal ada proses evolusi fisikal (baca Manifestasi Wujud Tuhan), maka refleksi kehendak-Nya menjadi matahari kecil dalam kesadaran manusia itu pun melewati proses evolusi spiritual (baca Cinta Kasih).
Begitulah, Wa Allah A'lam.
Ungaran, 28/04/2022
0 Comments